BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kerjasama merupakan suatu ungkapan yang
digunakan untuk menyatakan suatu hubungan antar dua pihak atau lebih yang
memiliki suatu pandangan yang sama serta untuk mencapai tujuan yang sama pula.
Dalam suatu kawasan regional negara seperti kawasan Asia Tenggara, tentu perlu
membuat suatu gerakan bersama yang digunakan untuk menata strategi bersama
dalam satu kawasan serta kepentingan-kepentingan masing-masing negara sesuai
dengan tujuannya.
Sejarah mencatat bahwa dalam perjalananya
menapaki sebagi suatu negara pada negra-negar di kawasan Asia Tenggara,
negara-negara tersebut telah membentuk beberapa kerjasama diantaranya dan
memiliki suatu maksud serta tujuan yang beragam. Diantaranya adalah SEATO, ASA,
MAPHILINDO, dan ASEAN.
Dalam perjalanan kerjasama-kerjasama
tersebut, mengalami berbagai dinamika yang beragam. Dari naik turunya keadaan
kerjasama tersebut membuat pola alamiah yang saling saut menyaut memunculkan
kerjasama-kerjasama baru yang memperbaharui dan semakin memperbaiki keadaan
Asia Tenggara. Oleh karena itu, perlu adanya suatu pembahasan mendalam akan hal
tersebut. Sehingga akan mendapatkan pemahaman yang mendalam akan materi ini.
Di wilayah Asia khususnya Asia Tenggara
terdapat sebuah bentuk kerjasama yang dituangkan dalam sebuah organisasi
bernama ASEAN. Kerjasama regional ini berdiri pada tanggal 8 Agustus 1967 oleh
5 negara yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina. Kelima
negara tersebut menyepakati Deklarasi Bangkok yang isi pokoknya adalah bahwa
mereka bersepakat untuk bekerjasama dalam rangka meningkatkan pertumbuhan
ekonomi dan mendorong tercapainya perdamaian regional. Keanggotaan ASEAN
mengalami perkembangan ketika Brunei Darussalam diterima sebagai anggota penuh
pada tanggal 8 Januari 1984, dan Vietnam menambah jumlah anggota ASEAN menjadi
7 setelah resmi diterima sebagai anggota pada tanggal 28 Juli 1995.
Keikutsertaan Myanmar, Laos dan, kamboja menambah anggota ASEAN menjadi 10 anggota. Tapi jauh sebelum itu kerjasama
antar negara di kawasan Asia Tenggara sudah lama terjalin, seperi ASA, MALINDO,
maupun SEATO.
B.
Rumusan
Masalah
Tujuan: untuk lebih sistematis, maka
kami akan merumuskan masalah-masalah pokok yang akan dibahas dalam makalah ini,
diantaranya adalah:
1. Apa
yang melatar belakangi terbentuknya kerjasama pada negara-negara di Asia
Tenggara?
2. Apa
saja wujud kerjasama pada negara-negara di Asia Tenggara?
3. Bagaimana
dampak yang diperoleh dari terbentuknya kerjasama-kerjasama di negara-negara
Asia Tenggara?
C.
Tujuan
Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka maka kami akan memberikan
beberapa tujuan dari penulisan makalah ini, diantaranya adalah:
1.
Untuk mengetahui latar belakang terbentuknya
kerjasama pada negara-negara di Asia Tenggara.
- Untuk mengetahui wujud kerjasama pada negara-negara di Asia Tenggara.
- Untuk mengetahui dampak yang diperoleh dari terbentuknya kerjasama-kerjasama di negara-negara Asia Tenggara.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Latar
Belakang Kerjasama Negara-Negara di Asia Tenggara
Letak geografis-alamiah kawasan Asia Tenggara
yang selalu mendorong para penguasanya untuk mengadakan kerjasama regional di
antara mereka sendiri ialah suatu fenomena sejarah yang sangat menarik.
Regionalisme di kawasan Asia Tengara bukan fenomena baru. Sejak zaman Sriwijaya
dan Majapahit gejala pendekatan bersama dan kerjasama regional itu nampak
sekali tanda-andanya. Sudah barang tentu dalam bentuk-bentuk yang lain dari
zaman sekarang. Namun begitu dasar dan tujuanya di tengah-tengah beraneka
warnanya kepentingan dan corak kebudayaan dan peradabanya selalu mendorong ke
muka dan ke atas kepentingan regional bersama, yaitu keamanan dan kemakmuran
yang sama, dengan ikatan hikmah kearifan perlunya tali persahabatan anatara
tetangga baik.
Semasa Perang Pasifik, ada dua bentuk
kerjasama regional di Asia Tengara. Satu yang bersifat militer, di bawah suatu
komando bernama “South East Asia Command” atau komando Asia Tenggara, dengan
perlengkapanya: “South Pasifik Command”, yaitu komando Pasifik Barat-Daya yang
mencakup seluruh kekuatan militer sekutu di daerah Asia Tenggara dengan garis
pertahananya: ABD, yaitu lini America-Dutch-British, yang lainya bersifat
propagandistis-ekonomis, diberi nama “Persemakmuran Bersama Asia Timur Raya”,
di bawah komandi bayonet Jepang. Yang dimaksud dengan istilah Asia Tengara,
Pasifik Barat-Daya dan Asia Timur pada
waktu itu ialah kawasan Asia Tenggara sekarang, yang atau masih dikuasai oleh
tentara Sekutu, atau yang sudah direbut dan diduduki oleh tentara Jepang.
Kedua contoh di atas dalam sejarah
semasa Perang Pasifik merupakan bentuk-bentuk kerjasama regional. Sekalipun
kerjasama itu kerjasama kauam penjajah, kelompok penjajah yang satu melawan
kelompok penjajah yang lain, tapi jelas, kerjasama itu tidak lain ialah
komplotan kekuatan-kekuatan ekstern, dengan orang luar sebagai subjek yang
hidup. Rakyat pribumi yang menjadi korban. Paling banter sekedar penonton
belanda, dus menjadi obyek yang mati dalam kerjasama regional yang saling
berebutan pengaruh dan kekuasaan itu.
Sejak PBB dibentuk tahun 1945, gagasan
menciptakan pengaturan kerja sama regional sebagai sarana penunjang mencapai
kerjasama global dilancarkan berbagai pihak. Kedua gagasan tadi, yakni kerja
sama regional dan kerja sama global dalam piagam PBB dipandang sebagai hal hal
yang amat diperjuangkan guna mencapai perdamaian dunia. Tekad yang diambil para
pemrakarsa PBB agar generasi berikutnya tidak lagi mengalami kesengsaraan
peperangan.
Sejak tahun 1945 itu, berkembanglah
berbagai ikrar kerja sama regional di hampir seluruh kawasan dunia yang
penting: Eropa, Timur Tengah, Asia, Afrika dan Amerika Latin. Salah satu asumsi
pokok kerja sama regional adalah bahwa kedekatan geografis akan memudahkan
upaya upaya saling memahami di antara negara negara yang bertetangga sehingga
masalah masalah yang mungkin dapat menjurus kepada pertikaian berlanjut dapat
diatasi dengan segera atas dasar hidup berdampingan secara damai.
Asumsi kerja sama regional adalah
pembagian kerja di antara negara negara yang berdekatan secara geografis tadi
agar masing masing negara memusatkan diri terutama pada kegiatan kegiatan
ekonomi yang menurut hematnya paling kuat dimilikinya sambil menyerahkan bidang
kegiatan ekonomi lain kepada tetangga yang lebih kuat minatnya terhadap bidang
kegiatan tersebut.
Sedangkan asumsi ketiga, kerja sama regional
ialah bahwa negara-negara yang melaksanakan kerja sama tadi terlebih dahulu
mencapai kata sepakat tentang manfaat bersama yang diperoleh dari
keterikatannya pada satu usaha bersama daripada menjalankan kegiatan
pembangunan secara terpisah dan tersendiri. Asumsi ini dikenal sebagai
konvergensi kepentingan yang tidak mau bersumber pada keputusan politik.
B.
Wujud
Kerjasama pada Negara-negara di Asia Tenggara
Kerja sama regional berkembang pula di
kawasan Asia Tenggara. Perkembangan kerja sama regional yang akan dibahas
adalah perkembangan kerja sama dalam periode dua dasawarsa, mulai dari
munculnya gagasan pembentukan kerja sama regional Asia Tenggara di Bagulo,
Filipina, pada tahun 1950 sampai kepada pembentukan ASEAN tahun 1967. Dalam
periode itu banyak bermunculan beraneka ragam kerja sama regional seperti SEATO
(1954), ASA (1961), MAPHILINDO (1963) dan akhirnya ASEAN (1967).
Seperti kita ketahui bahwa prakarsa
pembentukan kerjasama regional di banyak kawasan di dunia dilakukan oleh
negara-negara Barat dengan mengacu pada model kerja sama regional di Eropa
sebagai hasil dari keterpaduan kepentingan politik, ekonomi, dan strategi
akibat perang dingin, Rencana Mashall, dan pembentukan NATO.
1. SEATO
Gagasan pembentukan kerja sama regional
Asia Tenggara sesungguhnya dilancarkan
pertama kali di Bugulo (Filipina) tahun 1950. Namun. konsep kerja sama
regional itu terlalu mengkaitkan kedudukan Filipina sebagai bagian yang tak
terpisahkan dari kepentingan strategi Amenka Serikat sehingga tidak mendapat
dukungan penuh dari negara-negara Asia Tenggara yang berhaluan nasionalis,
terutama Indonesia.
Sewaktu perang dingin memuncak, Amerika
Serikat mendesakkan prakarsa pertahanan bersama Asia Tenggara. Berdasarkan
Perjanjian Manila pada tahun 1954, lahirlah South East Asia Treaty organization
(SEATO) Kerja sama regional di bidang militer yang diprakarsai oleh negara di
luar kawasan itu sebagai eksistensi perang dingin di Asia dengan markas
besarnya di Bangkok. Dasarnya adalah anti-komunis, didirikan demi untuk
membendung pengaruh RRC dan Vietnam Utara ke Selatan.
Anggotanya terdiri dari Amerika Serikat,
Inggris, Prancis, Australia. Selandia Baru, beserta tiga negara Asia yaitu
Pakistan, muangtai dan Filipina. Kerja sama regional seperti inipun tidak berhasil mencapai sasarannya,
pertama seperti halnya kerja sama regional lainnya beranggotakan negara-negara
non-asia. Kedua, kena sama regional militer
itu lebih banyak merupakan alat negara besar yang bersaingan dalam perang
dingin. Akhimya SEATO tak berdaya guna dan semakin melemah karena semakin
kehilangan kredibilitasnya. Pada saat itu Asia Tenggara menganut politik yang
berbeda- beda (Indonesia memiliki banyak suku dan netral) sehingga sulit ditarik begitu saja ke salah
satu blok. SEATO adalah bukti bahwa kerjasama regional yang benar-benar
bersumberkan kemauan diri masing-masing negara setempat belumlah terjelma.
Sejumlah negara-negara Asia yang baru
merdeka melihat adanya pengaruh perang dingin antara Blok Barat dan Timur itu
dapat membahayakan nasional mereka. Namun keinginan untuk tetap berdiri sendiri
kepentingan tanpa memihak salah satu blok merupakan problematik baru yang
dihadapi negara-negara Asia di tengah-tengah perkembangan perang dingin yang
semakin memuncak. Untuk mendirikan blok ketiga secara militer terang tidak
mungkin. Sungguhpun begitu, ide untuk menciptakan kekuatan ketiga dalam
percaturan politik internasional dengan tujuan untuk mengimbangi dua blok besar
yang saling bersaing cukup realistik, terutama sebagai kekuatan moral baru.
Berkaitan dengan persoalan tersebut,
maka muncul lima negara yang meyakini keperluan menciptakan dan kekuatan dunia
ketiga ini sebagai kekuatan moral baru bertemu di Colombo dalam bulan April
1954. Kelima negara tersebut adalah Myanmar, India, Indonesia, Pakistan dan sri
Lanka sebagai tuan rumah. Dalam Konferensi Colombo inilah Indonesia mengusulkan
ide untuk menyelenggarakan Konferensi Negara-negara Asia mengusulkan ide untuk
Afrika, dan usul tersebut diterima.
Pada tanggal 18-24 April 1955
berlangsunglah Konperensi Asia Afrika( KAA) yang amat bersejarah itu di
Bandung, Indonesia. Meskipun KAA tersebut tidak sampai organisasi kerja sama
regional, yang jelas ia telah berhasil merubah peta bumi politik
internasional.disamping dua blok besar, kini muncul kekuatan dunia ketiga,
kekuatan moral baru yang kemudian berkembang menjadi kekuatan nonblok.
Sementara itu kekalahan pihak Barat di
Indocina dinilai oleh Amerika serikat sebagai titik awal jatuhnya negara-negara
di kawasan Asia Tenggara ke tangan komunis, bagaikan serangan domino. Dari situ
muncul dan berkembang teori domino amerika serikat tentang bahaya komunis.
Untuk mencega bahaya komunisme yang di gambarkan melalui teori domino
tersebut, Menlu Amerika Serikat John
Foster Dulles secara tajam membagi dunia secara hitam putih, yaitu masuk Blok
Barat atau Blok Timur. Sejalan dengan pemikiran hitam putihnya itu, dia
mengecam keras negara-negara(nonblok) dengan maksud agar mereka memihak Blok
Barat. Ia menyatakan bahwa netralisme itu immoral. Namun kecaman tersebut
justru mendorong negara-negara netral untuk membentuk organisasi gerakan
Nonblok.
2. ASA
Kerja sama regional Asia Tenggara
berikutnya adalah Association of Southeast Asia (ASA), dibentuk tahun 1961. ASA
beranggotakan Malaya, Muangthai, dan Filipina, sehingga merupakan kerja sama
regional yang pertama kali tidak menyertakan negara luar wilayah. Asosiasi ini
merupakan pengganti yang lemah bagi organisasi
SEATO (organisasi pakta Asia Tenggara) yang telah semakin mengecewakan para anggotanya.
Ketika Indonesia diajak oleh Tengku
Abdul Rachman untuk ikut serta dalam ASA (1960), Presiden Soekarno dengan
tandas menyatakan bahwa ia lebih suka ingin bekerja sama dalam kontek
Asia-Afrika yang lebih merupakan konsep
politik daripada regional.
Walaupun ASA dan
Maphilindo dibentuk oleh negara-negara Asia
Tenggara sendiri, tanpa ikut sertanya negara lain di luar kawasan, namun
nyataannya sulit mempertahankan hidupnya, apalagi untuk berkembang. Hal ini
disebabkan karena kerja sama ASA tidak dapat bertahan lama, dan keberhasilannya
pun tidak banyak dan pula kurang mengesankan. dibandingkan dengan dua minggu
atau lebih umur Maphilindo, maka dengan masa enam tahun sejak dibentuknya tahun
1961, dan sampai secara resmi di bubarkanya tahun, ASA masih dapat membanggakan
diri diri, walaupun seharusnya dikurangi lagi karena ASA hanya dapat hidup
secara efektif dari bulan juli 1961 sampai dengan april 1963, dan dalam masa
tiga tahun berikutnya ASA telah lumpuh akibat sengketa sabah yang dianut
filipina terhadap malaysia.
Indonesia menyatakan jika masalah
Malaysia, maka baru dapat di ambil langkah selanjutnya yakni menjalin kerja
sama yang erat berdasarkan Prinsip-prinsip saling menguntungan antar
negara-negara asia tenggara. Indonesia mau menghidupkan kembali gagasan
maphiliandho dalam lingkup yang lebih luas untuk mencapai suatu asia tenggara
yang berkarjasama dalam berbagai bidang, terutama bidang ekonomi, sosial, dan kebudayaan.
3. MALPHILINDO
Setelah ASA tidak dapat bertahan lama
karena terjadi konflik antara Filipina dan Malaysia atas status daerah sabah
yang diklaim sebagai bagian dari wilayah Filipina. Konflik tersebut kemudian
mendorong terbentuknya organisasi Maphilindo (Malaya, Philipina dan Indonesia)
pada tahun 1963. Maphilindo merupakan gagasan untuk menyatukan Ras melayu yang
ada di wilayah Malaya, Philipina dan Indonesia. Akan tetapi usaha tersebut
gagal dengan dibentuknya negara Malaysia oleh Inggris sehingga Indonesia dan
Philipina menentang pembentukan negara Malaysia itu.
Maphilindo (singkatan Malaya, Philipina
dan Indonesia) adalah sebuah rencana konfederasi non-politik untuk 3 negara
diatas rencana awalnya adalah menciptakan 1 negara berdasarkan konsep ras
Melayu yang akan dilakukan oleh Wenceslao Vinzons pada era pemerintahan
persemakmuran di Philipina. Disana dia mengusulkan sebuah Persatuan Ras Malaya
- sebuah ide Malaya Irredentia (Malaya Irredentia juga sebuah alternatif nama
selain MaphilindoPada Juli 1963, Presiden Diosdado Macapagal dari Philipina
menyelenggarakan sebuah pertemua di Manila.
Maphilindo direncanakan sebagai sebuah
realisasi dari mimpi Jose Rizal, yang berupaya menyatukan seluruh penduduk
Melayu, yang telah dibelah - belah oleh para negara kolonial. Maphilindo
dideskripsikan sebagai sebuah asosiasi regional yang akan membahas isu-isu umum
dalam semangat konsensus. Tapi Maphilindo juga dilihat sebagai sebuah taktik
dari Jakarta dan Manila untuk menunda, atau malah mencegah pembentukan Federasi
Malaysia. Manila punya klaim ke Sabar (British North Borneo), dan Jakarta
memprotes pembuatan Negara Malaysia sebagai antek imperalis Inggris. Rencana
ini gagal ketika Soekarno mengadopsi taktik konfrontasi Dengan Malaysia.
Perkembangan dari ASEAN dikemudian hari akhirnya membuat proyek ini tidak
muncul ke permukaan lagi.
Bertolak dari proses berakhirnya
organisasi-organisai regional sebelum ASEAN dan menjelang lahirnya ASEAN, jelas
bahwa ASEAN merupakan penjelmaan KAA, ASA dan mahiliando. KAA memberi kedudukan
perintis bagi Indonesia dalam ASEAN (meskipun ruang pengaruh
menyempit),sedangkan dari ASA dan maphiliando mencakup anggota dan tujuan ASEAN
(termasuk sifat yang non komunis) sebagai penerus organisai-organisasi sebelum
ASEAN itu.
Secara politik, KAA tahun 1955 merupakan
puncak keberasilan. Sebab konfrensi itu menandai kemunculan kekuatan dunia ke
tiga dalam bentuk kekuatan moral baru yang harus di perhitungkan dalam peta
politik internasiaonal. KAA merintis kelahiran dan perkembangan negara-negara
non blok yang netralis. Betapa pu dalam perkembangan nya nagara-negara non blok
ini mengalami bagai kesulitan interen yang kadang-kadang mengurangi
kredibilitasnya.
Sejak KAA itu andil dan peranan
indonesia cukup besar dalam melahirkan dan mengembangkan kekuatan moral baru
dalam bentuk kerja sama negara-negara non blok. Karna itu sewaktu di tawari
bergabung dengan ASA (yang di nilai oleh indonesia memihak barat) maka
indonesia menolak nya bahkan pada saat itu indonesia menjadi salah satu pendiri
gerakan non blok (2 september 1961) namun lama kelamaan RI condong ke Blok
timur, tetapi setelah muncul orde baru politik luar negri indonesia kembali ke
bebas aktif (walaupun kenyataanya lebih condong ke Blok barat).
4. ASEAN
a. Latar
Belakang Terbentuknya ASEAN
Kawasan Asia Tenggara yang secara
geopolitik dan geoekonomi mempunyai
nilai strategis, menjadi incaran bahkan
pertentangan kepentingan negara-nrgara besar pasca perang dunia ke II.
Karenanya, kawasan ini dijuluki “Balkan-nya
Asia”.
Persaingan antar negara adidaya dan
kekuatan besar lainnya di kawasan anatara lain terlihat pada perang Vietnam.
Disamaping itu, konflik kepentingan juga pernah trjadi diantara sesama
negara-negara Asia Tenggara seperti “konfrontasi” antara Indonesia dan
Malaysia.
Dilatarbelakangi
perkembangan situasi di kawasan pada saat itu, negaranegara Asia Tenggara
menyadari perlunya dibentuk kerjasama yang dapat meredakan saling curiga
sekaligus membangun rasa saling percaya serta mendorong pembangunan di kawasan.
Sebelum terbentuknya ASEAN tahun 1967, negara-negara Asia Tenggara telah
melakukan berbagai upaya untuk menggalang kerjasama regional baik yang bersifat
intra maupun ekstra kawasan seperti Association of Southeast Asia (ASA),
Malaya, Philippina, Indonesia (MAPHILINDO), South East Asian Ministers of
Education Organization (SEAMEO) South East Asia Treaty Organization (SEATO) dan
Asia and Pacific Council (ASPAC).
Meredanya
rasa saling curiga diantara negara-negara Asia Tenggara membawa damapak positif
yang mendorong pembentukan organisasi kerjasama kawasan. Pertemuan-pertemuan
konsultatif yang dilakuakan secara instensif antara Menteri Luar Negri
Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand menghasilkan rancangan
Joint Declaration, yang antara lain mencakup kesadaran perlunya meningkatkan
saling pengertian untuk hidup bertetanggasecara baik serta membina kerjasama
yang bermanfaat diantara negara-negara yang sudah terikat oleh pertalian
sejarah dan budaya.
Selanjutnya
pada tanggal 8 agustus 1967 di Bangkok, lima wakil negara /pemerintahan Asia
Tenggara yaitu Wakil Perdana Menteri Luar Negri Malaysia Tun Abdul Razak dan para Menteri Luar Negri Indonesia Adam
Malik, Menteri Luar Negri Filipina Narcio
R. Ramos, Menteri Luar Negri Singapura S Rajaratnam, dan Menteri Luar Negri
Thailand Thanat Khoman duduk bersama untuk menandatangani Deklarasi ASEAN atau
Dekalarasi Bangkok. Deklarasi tersebut menandai berdirinya suatu organisasi
regional yang diberi nama Association of Southeast Asian Nations/ASEAN
(Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara).
Organisasi
ini bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial,dan
pengembangan kebudayaan negara-negara anggotanya, serta memajukan perdamaian di
tingkat regional yang masih pada tahap kooperatif dan belum bersifat
integratif.
Proses perluasan keanggotaan ASEAN
hingga tercapainya ASEAN-10 adalah sebagai berikut:
1) Brunai
Darussalam secara resmi diterima menjadi anggota ke-6 ASEAN pada tanggal 7
januari 1984, dalam sidang khusus MenteriMenteri Luar Negri ASEAN di Jakarta.
2) Veitnam
diterima menjadi anggota ke-7 ASEAN dalam Pertemuan Para Menteri Luar Negri (AMM) ke-28 pada tanggal 29-30
juli 1995 di Bandar Seri Begawan.
3) Laos
dan Myanmar diterima sebagai anggota penuh ASEAN melalui suatu upacara resmi
pada tanggal 23 juli 1997 dalam rangkaian Pertemuan Para Menteri Luar Negri
ASEAN (AMM) ke-30 di Subang Jaya, Malayasia, tanggal 23-28 juli 1997.
4) Kamboja
diterima sebagai anggota penuh ASEAN pada upacara penerimaan resmi di Ha Noi
tanggal 1999. Dengan diterimanya Kamboja, maka cita-cita para pendiri ASEAN
untuk mewujudkan ASEAN yang mencakup sepuluh Negara Asia Tenggara (visi
ASEAN-10telah tercapai.
Menjelang abad ke-21, ASEAN menyepakati
untuk mengembangkan suatu kawasan yang terintegrasi dengan membentuk suatu
komunitas negara-negara Asia Tenggara yang terbuka, damai, stabil dan
sejahtera, saling peduli, diikat bersama dalam kemitraan yang dinamis di tahun
2020. Harapan tersebut dituangkan dalam visi ASEAN 2020 di Kuala Lumpur tahun
1997. Untuk merealisasikan harapan tersebut, ASEAN mengesahkan Bali Concord II
pada KTT ke-9 ASEAN di Bali tahun 2003 yang menyetujui pembentukan komunitas
ASEAN (ASEAN Community).
Komunitas ASEAN
tersebut terdiri atas 3 (tiga) pilar yaitu komunitas keamanan ASEAN (ASEAN
security community/ASC), komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic community/AEC)
dan komunitas sosial-budaya ASEAN (ASEAN socio-cultural community/ASCC).
Indonesia menjadi penggagas pembentukan komunitas keamanan ASEAN dan memainkan
peran penting dalam perumusan dua pilar lainnya.
Pada
saat berlangsungnya KTT ke-10 ASEAN di Vientiane, Laos tahun 2004, konsep
komunitas ASEAN mengalami kemajuan dengan disetujuinya tiga rencana aksi (plan
of Action/PoA) untuk masing-masing pilar yang merupakan program jangka panjang
untuk merealisasikan kondep komunitas ASEAN. KTT ke-10 ASEAN juga
mengintegrasikan ketiga rencana aksi komunitas ASEAN ke dalam Vientine Action
Programme (VAP) sebagai landasan program jangka pendekmenengah untuk priode
2004-2010.
Pencapaian
komunitas ASEAN semakin kuat dengan ditandatanganinya “Cebu Declaration on the
Acceleration of the Establishment of an ASEAN Community by2015” oleh para
pemimpin ASEAN pada KTT ke -12 ASEAN di Cebu, Filipina 13 januari 2007. Dengan
ditandatangani deklarasi ini, para pemimpin ASEAN menyepakati percepatan
pembentukan komunitas ASEAN dari tahun
2020 menjadi tahun 2015. Seiring dengan upaya perwujudan komunitas ASEAN,
menyepakati untuk menyusun semacam kostitusi yang akan menjadi landasan dalam
penguatan kerjasamanya. Dalam kaitran ini, proses penyusunan piagam ASEAN
dimulai sejak tahun 2006 melalui pembentukan Eminent Persons Group dan kemudian
dilanjutkan oleh High Level Task Force untuk melakukan negoisasi terhadap draft
piagam ASEAN pada tahun 2007.
Pada
usia ke-40 tahun para kepala Negara/Pemerintah
pada KTT-13 ASEAN di Singapura tanggal 2007 telah menandatangani Piagam
ASEAN (ASEAN Charter) yang merubah ASEAN dari suatu asosiasi longgar menjadi
rule-based organization dan mempunyai legal personality. Dalam rangka mencapai
komunitas ASEAN 2015, ASEAN juga menyusun blueprint (cetak biru) dari ketiga
pilar komunitas politik keamanan, ekonomi, dan sosial budaya, yang merupakan
program aksi untuk memperkuat kerjasamanya.
b. Tujuan
Kerja Sama ASEAN
Deklarasi Bangkok yang menandai
terbentuknya ASEAN pada tanggal 8 Agustus 1967 antara lain menyatakan keinginan
negara-negara pendirinya untuk meletakkan landasan yang kokoh guna memajukan
kerja sama regional di Asia Tenggara yang akan memberikan sumbangan bagi
perdamaian, kemajuan, dan kesejahteraan rakyat di kawasan ini. Sebenarnya
tujuan kerja sama politik tidak tercantum secara eksplisit dalam Deklarasi
ASEAN, namun akibat perkembangan situasi regional maupun internasional, maka
kerja sama politik menjadi prioritas utama.
Adapun hambatan kerja sama politik disebabkan oleh sisa-sisa
permasalahan akibat kolonialisme, terutama yang menyangkut perbatasan antar
negara yang tidak jelas. Di samping itu, pandangan politik luar negeri yang
berbeda-beda juga menjadi hambatan kerja sama regional tersebut.
Perhimpunan
Bangsa-Bangsa di Asia Tenggara (Association of Southeast Asian Nations) atau
ASEAN dibentuk pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok oleh lima negara, yaitu
Indonesia, Filipina, Malaysia, Muangthai, dan Singapura. Sedangkan
negara-negara Asia Tenggara yang lain seperti Brunei Darusalam, Vietnam, Laos,
Myanmar, dan Kamboja bergabung kemudian. Dengan demikian seluruh negara di Asia
Tenggara akhirnya bergabung dalam ASEAN.
Sebelum
ASEAN berdiri, di Asia Tenggara sudah ada organisasi-organisasi regional. Pada
awal tahun 1954 telah muncul Organisasi Pakta Asia Tenggara (SEATO), namun
negara-negara di Asia Tenggara yang terlibat baru Thailand dan Filipina. Pada
tanggal 31 Juli 1961 lahir Asosiasi Asia Tenggara (ASA) yang melibatkan Malaya,
Filipina, dan Muangthai, dalam rangka untuk mendorong kerja sama ekonomi dan
budaya.
ASA
tidak berkembang karena perseteruan di antara negara-negara anggota. Filipina
mengaku memiliki Sabah di tahun 1962 yang akhirnya mematikan embrio dari
asosiasi ini. Asosiasi lainnya dikenal sebagai Maphilindo (Malaya, Filipina,
Indonesia) dibentuk pada awal Agustus tahun 1963, tetapi pecah ketika Indonesia
melancarkan konfrontasi dengan Malaysia pada tahun 1964, dan kemudian muncul
ASEAN (1967) yang dapat mewadahi tujuan-tujuan ASA dan Maphilindo.
Berdasarkan
pengalaman dari berbagai organisasi regional yang telah tumbuh dan berkembang
di Asia Tenggara, terlihatlah bahwa organisasi regional yang bisa memadai
adalah perhimpunan yang memperhitungkan Indonesia. Sebagai negara yang paling besar
dan luas wilayah serta jumlah penduduknya di kawasan ini, Indonesia mau tidak
mau harus disertakan dalam suatu pola kerja sama yang mengandalkan kemandirian
berpikir maupun kemandirian dalam melaksanakan cita-cita ketertiban regional.
Karena itu ASEAN yang bisa menemukan pola yang sesuai dengan kondisi yang
realistis di Asia Tenggara cenderung bisa diterima oleh semua negara di kawasan
ini.
Fenomena
politik internasional dan regional serta masalah-masalah bilateral yang
terdapat di antara beberapa negara Asia Tenggara adalah faktor-faktor yang
mendorong lahirnya suatu regionalisme Asia Tenggara, yang diwujudkan oleh
organisasi kerja sama ASEAN. Faktor-faktor eksternal ini diperkuat pula oleh
berbagai keharusan dan kepentingan politik internal dari masing-masing negara
anggotanya.
Situasi
politik internasional dalam dasawarsa 1960-an masih diwarnai oleh konflik
latent, dengan percik-percik konflik langsung di sana-sini (perang Vietnam,
perang Arab-Israel dan sebagainya), konflik antara Blok Barat dan Blok Timur.
Keadaan seperti itu menumbuhkan ketegangan di beberapa kawasan, dan dalam
beberapa hal juga pertarungan intern si suatu negara, akibat adanya
pilihan-pilihan politik dalam kebijaksanaan politik luar negeri yang dilakukan
oleh suatu rejim dengan mengacu kepada salah satu kutub kekuatan dunia yang
ada.
Di
tengah-tengah suasana bipolaritas kekuasaan global antara dua negara adikuasa
(Amerika Serikat dan Uni Soviet), gema suara dari kerinduan akan suasana yang
lebih netral dan upaya peradaan ketegangan terdengar semakin keras. Jalan
tengah itu mengambil bentuk gerakan Non-blok muncul dari negara-negara relatif
muda dan baru lepas dari penjajahan setelah Perang Dunia II. Sementara itu,
fragmentasi kekuatan Barat, dengan tumbuhnya bibit-bibit kekuatan dunia baru
seperti Jepang mulai pula kelihatan. Fragmentasi serupa Blok Timur juga mulai
kelihatan dengan munculnya RRC yang tampil sebagai kekuatan raksasa baru.
Situasi
politik internasional lain yang sosoknya mulai tergambar semakin jelas ialah
kecenderungan sejumlah negara di kawasan tertentu untuk membentuk organisasi
regional. Meskipun yang terakhir itu masih lebih banyak berupa pakta pertahanan
atau kerja sama yang bersifat serupa itu, namun demikian sudah ada pula
beberapa organisasi kerja sama regional yang berlandaskan kepentingan selain
pertahanan dan mempertegas titik-titik terang keberadaan yang semakin kuat
seperti Uni Eropa.
Kecenderungan-kecenderungan
tersebut tidak hanya bersifat struktural melainkan juga fungsional, dalam arti bahwa kepentingan-kepentingan
yang terkandung di dalamnya juga ikut mengalami pergeseran sifat. Jika sampai
pertengahan dasawarsa 1960-an isu-isu politik seperti kolonialisme, pertarungan
ideologis antara demokrasi liberal melawan komunisme dan sebagainya yang
mendominasi percaturan politik internasional, maka sejak periode tersebut
isu-isu ekonomi mulai terdengar dan menguat.
Seperti
yang telah di ungkapkan di atas, faktor pendorong terbentuknya ASEAN ialah
perkembangan situasi regional secara
umum. Ketakutan akan eskalasi perang vietnam serta titik rawan dalam soal
komunisme yang dihadapi oleh setiap negara pendiri ASEAN memerlukan
langkah-langkah dan strategi tertentu untuk menghadapinya. Dengan kata lain,
dalam persoalan ini terlihat adanya kecenderungan tuntutan yang semakin
meningkat terhadap upaya penagkalan komunisme pada umumnya, dan eskalasi perang
vietnam pada khususnya. Dalam situasi seperti itulah, bisa dimengerti mengapa
pihak Thailand dengan antusias menyediakan segala prasarana bagi proses
terbentuknya ASEAN jika dilihat bahwa negara itu berkepentingan langsung akibat
faktor geografis dan hubungannya dengan Amerika Serikat.
Penggalangan
kerja sama regional dipandang bisa menjadi salah satu alternatif perwujudan
pencarian legitimasi itu, melalui konsep pembangunan nasional. Dengan kerangka
yang sama, Malaysia dan Singapura paling tidak berusaha untuk mempertahankan
tingkat kemakmuran ekonomi yang telah dicapai dengan menghindari sejauh mungkin
implikasi politik yang rawan bagi pemerintahan nasional masing-masing.
Berbagai
macam permasalahan bilateral yang dihadapi oleh masing-masing negara pendiri
dengan corak hubungan yang khas ikut pula mendorong proses pembentukan ASEAN,
salah satu contohnya Indonesia dengan Singapura. Posisi lintas Singapura,
meskipun menguntungkan, tetapi dari aspek strategi pertahanan kurang
menguntungkan. Dalam kaitan itu, pengalaman Singapura dengan politik
konfrontasi Indonesia membuat negara pulau yang dari kelima negara pendiri
ASEAN merupakan yang terkecil itu untuk mengarahkan strategi pembangunan
perekonomiannya tidak hanya sebagai pelabuhan transito, melainkan harus segera
melangsungkan proses industrialisasi. Dengan strategi seperti itu, negara pulau
tersebut akan berusaha meningkatkan daya tangkal dan ketahanan nasional
terhadap negara-negara tetangga yang wilayahnya lebih luas dan penduduknya
lebih besar.
Disamping
masalah-masalah bilateral, ternyata persoalan-persoalan domestik juga berperan
kuat dalam mendorong terbentuknya ASEAN. Indonesia baru terlepas dari peristiwa
G30S, dengan segala implikasi politik dan sosial ekonomi, dan secara umum
persoalan-persoalan mengenai peralihan kekuasaan. Pemerintahan yang baru masih
berupaya untuk memperkuat dasar-dasar legitimasi, yang akibat peristiwa
tersebut norma-norma lama yang melandasi tingkah laku serta kebijakan politik
sebelumnya telah meluntur serta kesepakatan tentang norma-norma baru belum
tertanam dengan kuat.
Jika
dilihat dari pengalaman sejarahnya, dari kelima negara pendiri ASEAN, empat di
antaranya hampir mengalami pengalaman kesejarahan yang sama. Kecuali Muangthai,
negara-negara anggota lainnya pernah mengalami penjajahn dan baru saja
memperoleh kemerdekaan dari mereka. Dengan demikian masih terdapat
persoalan-persoalan yang lazim muncul di negara-negara baru, yaitu pergulatan
dengan sistem politik yang belum mapan, suksesi antara rezim penguasa yang
tidak selalu berjalan lancar dan tanpa kekerasan, masalah persatuan dan
kesatuan bangsa pada umumnya, identitas bangsa, pembangunan ekonomi, dan
lain-lain. Sistem politik yang belum mapan misalnya dialami oleh Indonesia
dengan perubahan bentuk sistem politik dari sistem demokrasi liberal ke
demokrasi terpimpin hingga Orde Baru.
Tokoh
indonesia yang banyak berperan dalam pembentukan ASEAN adalah Adam Malik.
Sebagai Menteri Luar Negeri, Adam Malik banyak bekerja sama dengan Departemen
Pertahanan-Keamanan. Tujuan politik luar negerinya adalah meluruskan politik
luar negeri dan memulihkan citra
Indonesia dalam kaitannya dengan
usaha-usaha memulihkan perekonomian dan perintisan awal pembangunan
nasional. Untuk mencapai tujuan tersebut, Indonesia berperan aktif sebagai
perintis pembentukan ASEAN.
c. Norma
dan Prinsip ASEAN
Sepanjang
sembilan tahun pertama sejak dibentuk merupakan saat yang penting dan
menentukan karena sepanjang waktu itulah interaksi antar negara menjadi sumber
nilai bagi pembentukan norma-norma yang kelak menjadi pondasi untuk
keberlangsungan hubungan antar negara. Perjanjian persahabatan dan kerjasama
(Treaty of Amity anda Cooperation) yang ditandatangani pada pertemuan di Bali
tahun 1976 sering disebut sebagai wujud dari nilai-nilai global yang mendasari
terbentuknya organisasi regional. Dalam temuan Bali tersebut negara-negara
ASEAN sepakat untuk:
1) Saling
menghormati kemerdekaan, kedaulatan, dan integritas wilayah semua bangsa;
2) Setiap
negara berhak memelihara keberadaannya dari campur tangan, subversi, kekerasan,
dari kekuatan luar;
3) Tidak
mencampuri urusan dalam negara lain;
4) Menyelesaikan
perbedaan pendapat dan pertikaian dengan jalan damai;
5) Menolak
ancaman penggunaan kekerasan.
Menurut
Acharya, ada beberapa norma dasar yang tumbuh dalam proses evolusi ASEAN selaku
organisasi regional. Terdapat paling tidak empat norma dan prinsip yang
melandasi kehidupan ASEAN, antara lain:
1) Menentang
menggunakan kekerasan dan mengutamakan solusi damai;
2) Otonomi
regional;
3) Tidak
mencampuri urusan internal negara anggota lain;
4) Menentang
pakta militer, mendukung kerjasama pertahanan bilateral (Bambang Cipto, 2010:
22-23).
d. Situasi
Global sebelum Pembentukan ASEAN
Sejak
tahun 1945 peta politik internasional berada di bawah pengaruh perang dingin
antara Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat dan Blok Timur yang dipimpin
Uni Soviet (kini Rusia). Dengan demikian sejak 1945, tiada kawasan dunia yang
penting yang lepas dari salah satu atau berbagai bentuk persaingan ideologis
Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Dalam
rangka untuk mendapatkan dukungan internasional, Amerika Serikat dan Uni Soviet
aktif bertindak sebagai pemrakarsa
berbagai bentuk kerja sama regional yang berdimensi politik, ekonomi,
dan keamanan. Akan halnya kadar aktivitas masin masing adikuasa dalam berbagai
kawasan dunia amat tergantung pada prioritas yang diberikan kepada kawasan itu
oleh masing masing adikuasa, taruhan yang menjadi awal mula persaingan kedua
negara, dan keinginan dari masing masing negara kawasan yang diajak untuk
bersekutu.
Persaingan
antara Amerika Serikat dan Uni Soviet itu mendorong negara negara di dunia
untuk mengikat diri dengan salahsatu negara adikuasa itu. Di samping itu,
negara negara adikuasa melibatkan diri dalam suatu kawasan tertentu untuk
mendominasi dalam bentuk kerja sama regional.
Dalam
banyak kasus, tampak jelas bawa kedekatan geografis yang berlebih lebihan pada
salah satu adikuasa dapat mengakibatkan negara negara yang berdekatan itu
menjadi amat tergantung pada salah satu negara adikuasa. Makin terikat suatu
adikuasa pada ikhtiar perlindungan terhadap kawasan yang amat berdekatan
dengannya, makin besar kemungkinan ketergatungan dan hegemoni oleh adikuasa
yang bersangkutan.
Ketergantungan
dan hegemoni yang tercipta mengakibatkan negara yang dibantu atau dilindungi
memiliki ruang gerak ang kian berkurang. Bahkan dalam persekutuan resmi, negara
kecil yang besrsangkutan secara nyata terlibat dalam persaingan politik,
ekonomi, dan keamanan yang semestinya dapat dihindarinya apabila berdekatan
geografis salah satu adikuasa tak memaksanya untuk bertindak demikian.
Dalam
hal kawasan yang letak geografisnya bertahan dari Amerika Serikat atau Uni Soviet,
kemungkinan akan keadaan ketergantungan, hegemoni dan sengketa kepentingan
menjadi berkurang. Paling tidak, perasaan bahwa keinginan yang berlebih lebihan
dari suatu adikuasa terhadap negara negara di kawasan yang bersangkutan dapat
dikurangi karena bagaimanapun, jarak yang membuat kadar tekanan perasaan
seperti itu dapat dikecilkan. Maka, sepanjang sejarah modern Asia Tenggara,
bentuk bentuk kerja sama regional yang diinginkan oleh Amerika Serikat
sesungguhnya tidak pernah mengalami tingkat kecemasan akan adanya
ketergantungan, hegemoni, atau sengketa kepentingan yang berlarut larut.
Di
Asia, terdapat serangkaian upaya untuk menciptakan dan mengembangkan kerja sama
dalam berbagai bentuk dan untuk berbagai tujuan. Upaya yang paling awal,
melibatkan sejumlah negara Asia Tenggara ialah Konperensi Asia yang
diselenggarakan di New Delhi pada tanggal 23 Maret sampai 2 April 1947.
Dalam
konperensi Asia itu, di samping tuan rumah India, 17 negara Asia lain ikut
hadir dan enam dari padanya adalah wakil wakil dari Asia Tenggara, masing
masing dari Myanmar, Indonesia, Malaya, Filipina, Muangthai dan Vietnam. Pada
tanggal 20 Januari 1949 konperensi pemerintah negara negara Asia tersebut
membicarakan serangan Belanda terhadap Indonesia yang berlangsung mulai tanggal
19 Desember 1948.
Dalam
bulan Mei 1950 di Filipina diselenggarakan pertemuan Asian Union yang dihadiri
oleh tuan rumah Filipina, Australia, India, Indonesia, Muangthai, Pakistan, dan
Sri Langka. Konperensi konperensi yang diselenggarakan anatara tahun 1947-1950
itu tidak menghasilkan organisasi regional, tetapi lebbih merupakan forum
komunikasi. Namun dengan begini berbagai hal yang menjadi perhatian bersama
dapat dibahas ssehingga dapat dijadikan sebagai bahan bahan pembentukan kerja
sama yang sesungguhnya.
Sejumlah
negara negara baru di Asia menilai bahwa kalau mereka terlibat dalam salah satu
blok dalam kancah perang dingin, maka akan membahayakan kepentingan nasional
mereka. Untuk mendirikan blok ketiga secara militer terang tidak mungkin.
Karena mereka yakin bahwa dengan dibentuknya kekuatan ketiga dalam percaturan
internasional dapat mengimbangi dua blok yang saling bersaing.
Dalam
rangka untuk membentuk kekuatan ketiga (di luar Blok Barat dan Timur), kelima
negara Asia yaitu Myanmar, India, Indonesia, Pakistan dan Sri Lanka pada bulan
April 1954 bertemu di Colombo (ibu kota Sri Lanka). Dalam konperensi Colombo
itu Indonesia mengusulkan ide untuk menyelenggarakan Konperensi negara negara
dari Asia dan Afrika.
Dengan
disponsori oleh Indonesia, India, Mesir, Ghana, dan Sri Lanka maka pada tanggal
18 24 April 1955 berlangsunglah Konferensi Asia Afrika di Bandung. Meskipun
konferensi di Bandung itu tidak sampai menhasilkan sebuah organisasi kerja sama
regional, tetapi telah berhasil merubah peta
politik internasional karena KAA sebagai embrio munculnya gerakan
Nonblok.
e. Kondisi
Asia Tenggara Sebelum dibentuknya ASEAN
Kekalahan
Prancis di Indonesia dalam tahun 1954 ternyata telah merisaukan Amerika Serikat
sebagai pelopor Blok Barat, sebab kekalahan pihak Barat itu akan membawa akibat
berjatuhnya satu persatu negara negara di kawasan Asia Tenggara ke tangan
komunis, bagaikan serangkaian domino. Dari situ muncul dan berkembang teori
domino, yaitu bahwa negara negara Asia Tenggara akan jatuh satu persatu ke tangan
komunis seperti kartu domino.
Untuk
mencegah bahaya komunis tersebut, Amerika Serikat dengan negara negara Blok
Barat lainnya mengambil berbagai langkah pembendungan, yaitu dengan memilih
salah satu blok. Bagi negara Asia Tenggara yang menyatakan tetap netral dinilai
sebagai immorial, termasuk negara negara yang menjadi sponsor KAA yang non
blok.
Dalam
rangka pembendungan komunis di Asia Tenggara, maka pada tanggal 8 September
1954 dibentuklah SEATO (Southest Asia Treaty Organization) di Manila. Dengan demikian
SEATO seabagai organisasi regional yang pertama di Asia Tenggara. Adapun
anggotanya adalah Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Australia, Selandia Baru,
Pakistan, Filipina, dan Muangthai. Karena hanya dua negara saja yang berasal
dari Asia Tenggara, maka SEATO lemah kreadibilitasnya.
Sewaktu
Perdana Menteri Malaysia, Tengku Abdul Rahman, berkunjung ke Filipina tahun
1959, ia mengusulkan pembentukan organisasi kerja sama regional yang mampu
melindungi dan memperjuangkan kepentingan kepentingan nasionalnya. Setelah
Filipina setuju, kedua negara lalu mengajak negara negara di Asia Tenggara,
namun hanya Muangthai yang menerima. Karena itu pada tanggal 31 Juli 1961
ketiga negara tersebut melalui sebuah deklarasi di Bangkok secara resmi
mendirikan ASA (Association of Southeast Asia).
Banyak
negara negara Asia Tenggara yang tidak mau bergabung dengan ASA dianggap
sebagai antak SEATO dan imperialis Amerika Serikat. Tetapi munculnya
perselisihan politik antara Malaysia dan Filipina tentang Sabah (Kalimantan Utara)
yang dimasukkan ke dalam federasi Malaysia dalam bulan September 1963 telah
melumpuhkan kegiatan organisasi kerja sama regional tersebut.
Setelah
ASA menjadi beku karena masalah Sabah, Filipina mengembangkan ide untuk
membentuk semacam Konfederasi Melayu Raya (Greater Malay Confederation).
Dibalik ide itu tampaknya terkandung maksud mencari penyelesaian yang memuaskan
dari perselisihan antara Malaya di satu pihak dengan Filipina dan Indonesia di
pihak lain tentang Kalimantan Utara (Sabah) yang akan masuk ke dalam Federasi
Malaysia. Karena itu pada bulan Agustus 1963 terjadilah pertemuan tingkat
tinggi di Manila antara Soekarno, Tengku Abdul Rahman dan Diosdado Macapagal,
di mana mereka antara lain menyetujui untuk mengambil langkah langkah permulaan
ke arah berdirinya sebuah organisasi kerja sama regional baru yang kemudian
dikenal dengan Maphilindo (Malaya, Philipina, dan Indonesia).
Sewaktu
Malaysia diresmikan pada tanggal 16 September 1963 yang mencakup Sabah,
Serawak,Singapura di samping Malaya ke dalamnya
Indonesia mningkatkan konfrontasi terhadap federasi baru itu. Filipina yang
yidak lagi mempunyai hubungan diplomatic dengan Malaya atau Malaysia bekerja
sama dengan Indonesibelum lagi sempat bergerak, Maphilindo praktis menjadi
lumpuh, meskipun kedua negara anggota yaitu Indonesia dan Filipina masih
meneruskan pertemuan pertemuan.
Dengan
berlangsungnya konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia, maka Indonesia
membentuk poros Jakarta Pnom Penh Beijing, dan keluarnya Indonesia dari PBB.
Sulit untuk disangkal bahwa hal hal seperti itu merusak citra politik luar
negeri Indonesia yang bebas aktif. Praktek praktek politik luar negeri yang
cenderung memiha ke kiri, dalam hal ini RRC, dan sangar anti Barat menimbulkan
dan mengembangkan kesangian si berbagai negara tentang kemurnian prinsip bebas
aktif politik luar negeri Indonesia.
Ketika
politik luar negrei Indonesiaalami krisis kredibilitas yang berat di luar negeri, dan juga di beberapa kalangan di
dalam negeri, terutama kekuatan kekuatan non atau anti komunis seperti di
Angkatan Darat dan golongan golongan agama, meletslah peristiwa G30S/PKI. Kalau
seandainya peristiwa itu tidak berhasil ditumpas, Indonesia barangkali sudah
menjadi negara komunis dan bersamaan dengan itu prinsip bebas aktif politik negeri
kita dengan sendirinya terkubur.
Keberhasilan
penumpasan G30S/PKI menjungkirbalikkan keinginan untuk membentuk negara komunis
di Indonesia. Lagipula penumpasan tersebut diikuti dengan pelanggaran PKI serta
Mrxisme atau Komunisme serta jatuhnya kekuasaan presiden Soekarno. Presiden
Soeharto dengan Orde barunya mewarisi kondisi politiik, sosial, dan ekonomi
dalam negeri yang porak poranda. Di samping itu di dunia internasional, Orde
Baru mewarisi krisis kredibilitas yang berat terhadap prinsip bebas aktif dari
politik luar negeri Indonesia. Mengembalikan ctra yang wajar dan sehat tentang
prinsip bebas aktif tersebut dalam persepsi dunia internasional merupakan salah
satu tugas politik luar negeri yang amat ndesak, di samping keperluan untuk
mencari antuan yang dibutuhkan buat merekonstruksi dan membangun kembali
perekonomian yang kondisinya sudah parah.
Pemerintah
Orde Baru berangsur angsur mengembalikan citra politik luar negeri yang bebas
aktif. Konfrontasi dengan Malaysia diakhiri dan daam waktu yang relative
singkat keanggotaan Indonesia di PBB dicairkan kembali. Serangkaian dengan itu
Indonesia memainkan peranan aktif dan menentukan dalam pembentukan organisasi
regional di Asia Tenggara.
f. Menuju
ke Arah Pembentukan ASEAN
Berakhirnya
konfrontasi Indonesia-Malaysia, ternyata telah membuka lembaran baru sejarah
Asia Tenggara. Sebelum berakhirnya konfrontasi secara formal, pemerintah
pemerintah di Bangkok, Manila, dan Kualalumpur telah memperlihatkan keinginan
mereka untuk menghidupkan kembali gagasan kerja sama kawasan dan hal itu
menghasilkan buah dengan pelaksanaan pertemuan menteri menteri luar negrei ASA
pada bulan Juli 1966. Regionalism telah menjadi pokok pembicaraan selama
berlangsungnya perundingan bilateral informal antara Indonesia dengan Malaysia
jauh sebelum prakarsa pertama yang menentukan guna memberhentikan Soekarno. Hal
ini juga menjadi agenda pembicaraan resmi antara Adam Malik dan Tuan Razak di
Bangkok pada akhir Mei 1966.
C.
Dampak
Kerjasama Negara-Negara di Asia Tenggara
Dalam
segala tindakan, pasti memiliki suatu dampak atau efek dari tindakan-tindakan
yang dikerjakan. Begitu pula dengan suatu kegiatan kerjasama, lebih-lebih dalam
suatu bentuk kerjsama yang menyangkut organisasi besar seperti negara.
Kerjasama-kerjsama yang telah diuraikan sebelumnya yang ada di kawasan Asia
Tenggara, sedikit banyak memberikan perang yang cukup terlihat bagi
negara-negara anggotanya. Secara umum diperoleh dampaknya antara lain:
1. Semakin
meningkatnya perdamaian antar negara-negara dalam satu kawasan Asia Tenggara;
2. Dalam
bidang militer, semakin meningkatnya kekuatan pertahanan dalam kawasan Asia
Tenggara;
3. Dalam
bidang ekonomi, semakin meningkatnya kerjasama-kerjasama yang saling menguatkan
perekonomian negara-negara ASEAN, serta memumculkan peluang-peluang ekonomi
yang lebih besar bagi perkembanganya. Sehingga muncullah beberapa wujud
kerjasamanya antara lain:
a. Komite
keuangan dan perbankan (COFAB);
b. Komite
bahan pangan, pertanian, dan kehutanan (COFAF);
c. Komite
industri, mineral, dan energi (COIME);
d. Komite
perhubungan dan komunikasi (COTAC);
e. Komite
perdagangan dan pariwisata (COTT).
4. Dalam
bidang sosial budaya, terbentuknya kerjasama-kerjasama dalam bidang sosial
budaya. Dan terwujud dalam beberapa kerjasama, antara lain:
a. Komite
pembangunan sosial;
b. ASEAN
conference on civil service matters;
c. ASEAN
senior on drug mattters;
d. Komite
kebudayaan dan penerangan;
e. Komite
ilmu pengetahuan dan teknologi;
f. Dll
(Sekretariat Nasional ASEAN, 1992: 29-126)
5. Dalam
bidang politik, yaitu semakin terbukanya upaya-upaya untuk menjembatani
kepentingan-kepentingan masing-masing anggota ASEAN dalam melakukan upaya
diplomasi dengan sesama anggota lainya;
6. Munculnya
kerjasama dengan bangsa ketiga atau negara-negara selain anggota ASEAN. Antara
lain; Amerika Serikat, Australia, Jepang, Kanada, Korea Utara, Selandia Baru,
Masyarkat Eropa (ME), dan UNDP.
7. Teratasinya
permaslahan-permasalahan masing-masing anggota ASEAN dengan bantuan anggota
lainya;
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Keefektivan ASEAN bisa tetap terjaga
karena kebersamaan yang mengutamakan bahwa setiap masalah dan perbedaan akan
diatasi dengan konsultasi konseptual. Penyelesaian masalah melalui legitimasi
institusi ASEAN dan peran mediator lewat bermusyawarah mufakat menjadi gaya
ASEAN dalam menyelesaikan masalah.Usaha manajemen konflik yang dilakukan ASEAN
menutup peluang negara-negara besar diluar ASEAN seperti AS dan China untuk
dapat melakukan intervensi mendalam. Penting untuk tetap menjaga netralitas dan
membendung pengaruh dari hegemoni-hegemoni luar, karena seperti yang diketahui
bahwa ketergantungan ekonomi negara-negara ASEAN pada negara-negara besar dan
barat masih tinggi. Adanya kontak yg konstan dan komunikasi diantara
negara-negara membantu pertumbuhan kerjasama dan solidaritas yang akan membantu
ASEAN dalam menhadapi kerjasama di area yang lebih besar.Dalam praktiknya ASEAN
hendaknya sesuai dengan Prinsip-prinsip ASEAN yaitu mutual respect untuk
kemerdekaan dan kedaulatan serta intregitas territorial seluruh negara, non
interfensi pada pemerintahan dalam negeri satu sama lain.
B.
Saran
Dalam menjalankan suatu kehiduapan,
selalu didalamnya terdapat upaya-upaya dalam mempertahankan keberadanya dengan
keadaan yang diinginkan dan mengupayakan pencapaian tujuan. Dalam era serba
modern saat ini, manusia dituntut untuk hidup dengan segala ketatnya dan
kerasnya persaingan kehidupan yang ada. Sesuai dengan konsep bahwa manusia
merupakan mahluk sosial yang berarti bahwa manusia hidup selalu bersosial
dengan orang lain atau harus dengan bantuan orang lain atau bisa dikatakan
tidak bisa hidup sendiri. Dalam asumsi yang lebih besar dari seorang manusia
yaitu kelompok manusia seperti negara, juga kan melakukan tindakan demikian
dalam melakukan upaya dalam memenangkan keadaan dan selalu bertahan.
Uapaya-upaya tersebut dapat termanifestasikan dalam bentuk kerjasama. Kerjasama
dibuat, tentunya untuk mencapai suatu tujuan. Sebagai anggota dalam kerjasama,
sudah sepantasnya melakukan hal-hal atau prosedur sesuai dengan instruksi yang
diberikan. Mengupayakan sikap sinergi antar anggota serta loyalitas yang tinggi
akan mampu mewujudkan harapan bersama apabila dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Oleh karena itu, perlu kiranya kesadaran yang besar untuk melakukan kerjasama
yang nantinya akan menuaikan hasil yang positif bukanya kerugian yang di
terima.
DAFTAR PUSTAKA
Choiruzzad,
Shofwan Al Banna. (2015). ASEAN di Persimpangan Sejarah. Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia.
Sekretariat
Nasional ASEAN. (1992). ASEAN Selayang Pandang. Jakarta: Departemen Luar Negeri
Republik Indonesia.
Suhardjo,
Hatmosuprobo. (1983). Sejarah Asia Tenggara. Yogyakarta: IKIP Sanata Dharma.
Saifullah.
(2010). Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
http://www.asean
org/resources/2012-02-10-08-47-55/asean-statistics/item/
external-trade-statistics-3.