Jumat, 11 Desember 2015

SEJARAH ASIA TENGGARA BARU


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kerjasama merupakan suatu ungkapan yang digunakan untuk menyatakan suatu hubungan antar dua pihak atau lebih yang memiliki suatu pandangan yang sama serta untuk mencapai tujuan yang sama pula. Dalam suatu kawasan regional negara seperti kawasan Asia Tenggara, tentu perlu membuat suatu gerakan bersama yang digunakan untuk menata strategi bersama dalam satu kawasan serta kepentingan-kepentingan masing-masing negara sesuai dengan tujuannya.
Sejarah mencatat bahwa dalam perjalananya menapaki sebagi suatu negara pada negra-negar di kawasan Asia Tenggara, negara-negara tersebut telah membentuk beberapa kerjasama diantaranya dan memiliki suatu maksud serta tujuan yang beragam. Diantaranya adalah SEATO, ASA, MAPHILINDO, dan ASEAN.
Dalam perjalanan kerjasama-kerjasama tersebut, mengalami berbagai dinamika yang beragam. Dari naik turunya keadaan kerjasama tersebut membuat pola alamiah yang saling saut menyaut memunculkan kerjasama-kerjasama baru yang memperbaharui dan semakin memperbaiki keadaan Asia Tenggara. Oleh karena itu, perlu adanya suatu pembahasan mendalam akan hal tersebut. Sehingga akan mendapatkan pemahaman yang mendalam akan materi ini.
Di wilayah Asia khususnya Asia Tenggara terdapat sebuah bentuk kerjasama yang dituangkan dalam sebuah organisasi bernama ASEAN. Kerjasama regional ini berdiri pada tanggal 8 Agustus 1967 oleh 5 negara yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina. Kelima negara tersebut menyepakati Deklarasi Bangkok yang isi pokoknya adalah bahwa mereka bersepakat untuk bekerjasama dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mendorong tercapainya perdamaian regional. Keanggotaan ASEAN mengalami perkembangan ketika Brunei Darussalam diterima sebagai anggota penuh pada tanggal 8 Januari 1984, dan Vietnam menambah jumlah anggota ASEAN menjadi 7 setelah resmi diterima sebagai anggota pada tanggal 28 Juli 1995. Keikutsertaan Myanmar, Laos dan, kamboja menambah anggota ASEAN menjadi  10 anggota. Tapi jauh sebelum itu kerjasama antar negara di kawasan Asia Tenggara sudah lama terjalin, seperi ASA, MALINDO, maupun SEATO.
B.     Rumusan Masalah
Tujuan: untuk lebih sistematis, maka kami akan merumuskan masalah-masalah pokok yang akan dibahas dalam makalah ini, diantaranya adalah:
1.      Apa yang melatar belakangi terbentuknya kerjasama pada negara-negara di Asia Tenggara?
2.      Apa saja wujud kerjasama pada negara-negara di Asia Tenggara?
3.      Bagaimana dampak yang diperoleh dari terbentuknya kerjasama-kerjasama di negara-negara Asia Tenggara?
C.    Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah  di atas, maka maka kami akan memberikan beberapa tujuan dari penulisan makalah ini, diantaranya adalah:
1.      Untuk mengetahui latar belakang terbentuknya kerjasama pada negara-negara di Asia Tenggara.
  1. Untuk mengetahui wujud kerjasama pada negara-negara di Asia Tenggara.
  2. Untuk mengetahui dampak yang diperoleh dari terbentuknya kerjasama-kerjasama di negara-negara Asia Tenggara.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Latar Belakang Kerjasama Negara-Negara di Asia Tenggara
Letak geografis-alamiah kawasan Asia Tenggara yang selalu mendorong para penguasanya untuk mengadakan kerjasama regional di antara mereka sendiri ialah suatu fenomena sejarah yang sangat menarik. Regionalisme di kawasan Asia Tengara bukan fenomena baru. Sejak zaman Sriwijaya dan Majapahit gejala pendekatan bersama dan kerjasama regional itu nampak sekali tanda-andanya. Sudah barang tentu dalam bentuk-bentuk yang lain dari zaman sekarang. Namun begitu dasar dan tujuanya di tengah-tengah beraneka warnanya kepentingan dan corak kebudayaan dan peradabanya selalu mendorong ke muka dan ke atas kepentingan regional bersama, yaitu keamanan dan kemakmuran yang sama, dengan ikatan hikmah kearifan perlunya tali persahabatan anatara tetangga baik.
Semasa Perang Pasifik, ada dua bentuk kerjasama regional di Asia Tengara. Satu yang bersifat militer, di bawah suatu komando bernama “South East Asia Command” atau komando Asia Tenggara, dengan perlengkapanya: “South Pasifik Command”, yaitu komando Pasifik Barat-Daya yang mencakup seluruh kekuatan militer sekutu di daerah Asia Tenggara dengan garis pertahananya: ABD, yaitu lini America-Dutch-British, yang lainya bersifat propagandistis-ekonomis, diberi nama “Persemakmuran Bersama Asia Timur Raya”, di bawah komandi bayonet Jepang. Yang dimaksud dengan istilah Asia Tengara, Pasifik Barat-Daya  dan Asia Timur pada waktu itu ialah kawasan Asia Tenggara sekarang, yang atau masih dikuasai oleh tentara Sekutu, atau yang sudah direbut dan diduduki oleh tentara Jepang.
Kedua contoh di atas dalam sejarah semasa Perang Pasifik merupakan bentuk-bentuk kerjasama regional. Sekalipun kerjasama itu kerjasama kauam penjajah, kelompok penjajah yang satu melawan kelompok penjajah yang lain, tapi jelas, kerjasama itu tidak lain ialah komplotan kekuatan-kekuatan ekstern, dengan orang luar sebagai subjek yang hidup. Rakyat pribumi yang menjadi korban. Paling banter sekedar penonton belanda, dus menjadi obyek yang mati dalam kerjasama regional yang saling berebutan pengaruh dan kekuasaan itu.
Sejak PBB dibentuk tahun 1945, gagasan menciptakan pengaturan kerja sama regional sebagai sarana penunjang mencapai kerjasama global dilancarkan berbagai pihak. Kedua gagasan tadi, yakni kerja sama regional dan kerja sama global dalam piagam PBB dipandang sebagai hal hal yang amat diperjuangkan guna mencapai perdamaian dunia. Tekad yang diambil para pemrakarsa PBB agar generasi berikutnya tidak lagi mengalami kesengsaraan peperangan.
Sejak tahun 1945 itu, berkembanglah berbagai ikrar kerja sama regional di hampir seluruh kawasan dunia yang penting: Eropa, Timur Tengah, Asia, Afrika dan Amerika Latin. Salah satu asumsi pokok kerja sama regional adalah bahwa kedekatan geografis akan memudahkan upaya upaya saling memahami di antara negara negara yang bertetangga sehingga masalah masalah yang mungkin dapat menjurus kepada pertikaian berlanjut dapat diatasi dengan segera atas dasar hidup berdampingan secara damai.
Asumsi kerja sama regional adalah pembagian kerja di antara negara negara yang berdekatan secara geografis tadi agar masing masing negara memusatkan diri terutama pada kegiatan kegiatan ekonomi yang menurut hematnya paling kuat dimilikinya sambil menyerahkan bidang kegiatan ekonomi lain kepada tetangga yang lebih kuat minatnya terhadap bidang kegiatan tersebut.
Sedangkan asumsi ketiga, kerja sama regional ialah bahwa negara-negara yang melaksanakan kerja sama tadi terlebih dahulu mencapai kata sepakat tentang manfaat bersama yang diperoleh dari keterikatannya pada satu usaha bersama daripada menjalankan kegiatan pembangunan secara terpisah dan tersendiri. Asumsi ini dikenal sebagai konvergensi kepentingan yang tidak mau bersumber pada keputusan politik.
B.     Wujud Kerjasama pada Negara-negara di Asia Tenggara
Kerja sama regional berkembang pula di kawasan Asia Tenggara. Perkembangan kerja sama regional yang akan dibahas adalah perkembangan kerja sama dalam periode dua dasawarsa, mulai dari munculnya gagasan pembentukan kerja sama regional Asia Tenggara di Bagulo, Filipina, pada tahun 1950 sampai kepada pembentukan ASEAN tahun 1967. Dalam periode itu banyak bermunculan beraneka ragam kerja sama regional seperti SEATO (1954), ASA (1961), MAPHILINDO (1963) dan akhirnya ASEAN (1967).
Seperti kita ketahui bahwa prakarsa pembentukan kerjasama regional di banyak kawasan di dunia dilakukan oleh negara-negara Barat dengan mengacu pada model kerja sama regional di Eropa sebagai hasil dari keterpaduan kepentingan politik, ekonomi, dan strategi akibat perang dingin, Rencana Mashall, dan pembentukan NATO.
1.      SEATO
Gagasan pembentukan kerja sama regional Asia Tenggara sesungguhnya dilancarkan  pertama kali di Bugulo (Filipina) tahun 1950. Namun. konsep kerja sama regional itu terlalu mengkaitkan kedudukan Filipina sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kepentingan strategi Amenka Serikat sehingga tidak mendapat dukungan penuh dari negara-negara Asia Tenggara yang berhaluan nasionalis, terutama Indonesia.
Sewaktu perang dingin memuncak, Amerika Serikat mendesakkan prakarsa pertahanan bersama Asia Tenggara. Berdasarkan Perjanjian Manila pada tahun 1954, lahirlah South East Asia Treaty organization (SEATO) Kerja sama regional di bidang militer yang diprakarsai oleh negara di luar kawasan itu sebagai eksistensi perang dingin di Asia dengan markas besarnya di Bangkok. Dasarnya adalah anti-komunis, didirikan demi untuk membendung pengaruh RRC dan Vietnam Utara ke Selatan.

Anggotanya terdiri dari Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Australia. Selandia Baru, beserta tiga negara Asia yaitu Pakistan, muangtai dan Filipina. Kerja sama regional seperti  inipun tidak berhasil mencapai sasarannya, pertama seperti halnya kerja sama regional lainnya beranggotakan negara-negara non-asia.  Kedua, kena sama regional militer itu lebih banyak merupakan alat negara besar yang bersaingan dalam perang dingin. Akhimya SEATO tak berdaya guna dan semakin melemah karena semakin kehilangan kredibilitasnya. Pada saat itu Asia Tenggara menganut politik yang berbeda- beda (Indonesia memiliki banyak suku dan netral)  sehingga sulit ditarik begitu saja ke salah satu blok. SEATO adalah bukti bahwa kerjasama regional yang benar-benar bersumberkan kemauan diri masing-masing negara setempat belumlah terjelma.
Sejumlah negara-negara Asia yang baru merdeka melihat adanya pengaruh perang dingin antara Blok Barat dan Timur itu dapat membahayakan nasional mereka. Namun keinginan untuk tetap berdiri sendiri kepentingan tanpa memihak salah satu blok merupakan problematik baru yang dihadapi negara-negara Asia di tengah-tengah perkembangan perang dingin yang semakin memuncak. Untuk mendirikan blok ketiga secara militer terang tidak mungkin. Sungguhpun begitu, ide untuk menciptakan kekuatan ketiga dalam percaturan politik internasional dengan tujuan untuk mengimbangi dua blok besar yang saling bersaing cukup realistik, terutama sebagai kekuatan moral baru.
Berkaitan dengan persoalan tersebut, maka muncul lima negara yang meyakini keperluan menciptakan dan kekuatan dunia ketiga ini sebagai kekuatan moral baru bertemu di Colombo dalam bulan April 1954. Kelima negara tersebut adalah Myanmar, India, Indonesia, Pakistan dan sri Lanka sebagai tuan rumah. Dalam Konferensi Colombo inilah Indonesia mengusulkan ide untuk menyelenggarakan Konferensi Negara-negara Asia mengusulkan ide untuk Afrika, dan usul tersebut diterima.
Pada tanggal 18-24 April 1955 berlangsunglah Konperensi Asia Afrika( KAA) yang amat bersejarah itu di Bandung, Indonesia. Meskipun KAA tersebut tidak sampai organisasi kerja sama regional, yang jelas ia telah berhasil merubah peta bumi politik internasional.disamping dua blok besar, kini muncul kekuatan dunia ketiga, kekuatan moral baru yang kemudian berkembang menjadi kekuatan nonblok.
Sementara itu kekalahan pihak Barat di Indocina dinilai oleh Amerika serikat sebagai titik awal jatuhnya negara-negara di kawasan Asia Tenggara ke tangan komunis, bagaikan serangan domino. Dari situ muncul dan berkembang teori domino amerika serikat tentang bahaya komunis. Untuk mencega bahaya komunisme yang di gambarkan melalui teori domino tersebut,  Menlu Amerika Serikat John Foster Dulles secara tajam membagi dunia secara hitam putih, yaitu masuk Blok Barat atau Blok Timur. Sejalan dengan pemikiran hitam putihnya itu, dia mengecam keras negara-negara(nonblok) dengan maksud agar mereka memihak Blok Barat. Ia menyatakan bahwa netralisme itu immoral. Namun kecaman tersebut justru mendorong negara-negara netral untuk membentuk organisasi gerakan Nonblok.
2.      ASA
Kerja sama regional Asia Tenggara berikutnya adalah Association of Southeast Asia (ASA), dibentuk tahun 1961. ASA beranggotakan Malaya, Muangthai, dan Filipina, sehingga merupakan kerja sama regional yang pertama kali tidak menyertakan negara luar wilayah. Asosiasi ini merupakan pengganti yang lemah bagi organisasi  SEATO (organisasi pakta Asia Tenggara) yang  telah semakin mengecewakan para anggotanya.
Ketika Indonesia diajak oleh Tengku Abdul Rachman untuk ikut serta dalam ASA (1960), Presiden Soekarno dengan tandas menyatakan bahwa ia lebih suka ingin bekerja sama dalam kontek Asia-Afrika yang lebih merupakan  konsep politik daripada regional.
Walaupun ASA dan Maphilindo dibentuk oleh negara-negara Asia  Tenggara sendiri, tanpa ikut sertanya negara lain di luar kawasan, namun nyataannya sulit mempertahankan hidupnya, apalagi untuk berkembang. Hal ini disebabkan karena kerja sama ASA tidak dapat bertahan lama, dan keberhasilannya pun tidak banyak dan pula kurang mengesankan. dibandingkan dengan dua minggu atau lebih umur Maphilindo, maka dengan masa enam tahun sejak dibentuknya tahun 1961, dan sampai secara resmi di bubarkanya tahun, ASA masih dapat membanggakan diri diri, walaupun seharusnya dikurangi lagi karena ASA hanya dapat hidup secara efektif dari bulan juli 1961 sampai dengan april 1963, dan dalam masa tiga tahun berikutnya ASA telah lumpuh akibat sengketa sabah yang dianut filipina terhadap malaysia.
Indonesia menyatakan jika masalah Malaysia, maka baru dapat di ambil langkah selanjutnya yakni menjalin kerja sama yang erat berdasarkan Prinsip-prinsip saling menguntungan antar negara-negara asia tenggara. Indonesia mau menghidupkan kembali gagasan maphiliandho dalam lingkup yang lebih luas untuk mencapai suatu asia tenggara yang berkarjasama dalam berbagai bidang, terutama bidang ekonomi, sosial, dan kebudayaan.
3.      MALPHILINDO
Setelah ASA tidak dapat bertahan lama karena terjadi konflik antara Filipina dan Malaysia atas status daerah sabah yang diklaim sebagai bagian dari wilayah Filipina. Konflik tersebut kemudian mendorong terbentuknya organisasi Maphilindo (Malaya, Philipina dan Indonesia) pada tahun 1963. Maphilindo merupakan gagasan untuk menyatukan Ras melayu yang ada di wilayah Malaya, Philipina dan Indonesia. Akan tetapi usaha tersebut gagal dengan dibentuknya negara Malaysia oleh Inggris sehingga Indonesia dan Philipina menentang pembentukan negara Malaysia itu.

Maphilindo (singkatan Malaya, Philipina dan Indonesia) adalah sebuah rencana konfederasi non-politik untuk 3 negara diatas rencana awalnya adalah menciptakan 1 negara berdasarkan konsep ras Melayu yang akan dilakukan oleh Wenceslao Vinzons pada era pemerintahan persemakmuran di Philipina. Disana dia mengusulkan sebuah Persatuan Ras Malaya - sebuah ide Malaya Irredentia (Malaya Irredentia juga sebuah alternatif nama selain MaphilindoPada Juli 1963, Presiden Diosdado Macapagal dari Philipina menyelenggarakan sebuah pertemua di Manila.
Maphilindo direncanakan sebagai sebuah realisasi dari mimpi Jose Rizal, yang berupaya menyatukan seluruh penduduk Melayu, yang telah dibelah - belah oleh para negara kolonial. Maphilindo dideskripsikan sebagai sebuah asosiasi regional yang akan membahas isu-isu umum dalam semangat konsensus. Tapi Maphilindo juga dilihat sebagai sebuah taktik dari Jakarta dan Manila untuk menunda, atau malah mencegah pembentukan Federasi Malaysia. Manila punya klaim ke Sabar (British North Borneo), dan Jakarta memprotes pembuatan Negara Malaysia sebagai antek imperalis Inggris. Rencana ini gagal ketika Soekarno mengadopsi taktik konfrontasi Dengan Malaysia. Perkembangan dari ASEAN dikemudian hari akhirnya membuat proyek ini tidak muncul ke permukaan lagi.
Bertolak dari proses berakhirnya organisasi-organisai regional sebelum ASEAN dan menjelang lahirnya ASEAN, jelas bahwa ASEAN merupakan penjelmaan KAA, ASA dan mahiliando. KAA memberi kedudukan perintis bagi Indonesia dalam ASEAN (meskipun ruang pengaruh menyempit),sedangkan dari ASA dan maphiliando mencakup anggota dan tujuan ASEAN (termasuk sifat yang non komunis) sebagai penerus organisai-organisasi sebelum ASEAN itu.
Secara politik, KAA tahun 1955 merupakan puncak keberasilan. Sebab konfrensi itu menandai kemunculan kekuatan dunia ke tiga dalam bentuk kekuatan moral baru yang harus di perhitungkan dalam peta politik internasiaonal. KAA merintis kelahiran dan perkembangan negara-negara non blok yang netralis. Betapa pu dalam perkembangan nya nagara-negara non blok ini mengalami bagai kesulitan interen yang kadang-kadang mengurangi kredibilitasnya.
Sejak KAA itu andil dan peranan indonesia cukup besar dalam melahirkan dan mengembangkan kekuatan moral baru dalam bentuk kerja sama negara-negara non blok. Karna itu sewaktu di tawari bergabung dengan ASA (yang di nilai oleh indonesia memihak barat) maka indonesia menolak nya bahkan pada saat itu indonesia menjadi salah satu pendiri gerakan non blok (2 september 1961) namun lama kelamaan RI condong ke Blok timur, tetapi setelah muncul orde baru politik luar negri indonesia kembali ke bebas aktif (walaupun kenyataanya lebih condong ke Blok barat).
4.      ASEAN
a.       Latar Belakang Terbentuknya ASEAN
Kawasan Asia Tenggara yang secara geopolitik dan geoekonomi  mempunyai nilai  strategis, menjadi incaran bahkan pertentangan kepentingan negara-nrgara besar pasca perang dunia ke II. Karenanya, kawasan ini dijuluki “Balkan-nya
Asia”. Persaingan antar negara  adidaya dan kekuatan besar lainnya di kawasan anatara lain terlihat pada perang Vietnam. Disamaping itu, konflik kepentingan juga pernah trjadi diantara sesama negara-negara Asia Tenggara seperti “konfrontasi” antara Indonesia dan Malaysia. 
Dilatarbelakangi perkembangan situasi di kawasan pada saat itu, negaranegara Asia Tenggara menyadari perlunya dibentuk kerjasama yang dapat meredakan saling curiga sekaligus membangun rasa saling percaya serta mendorong pembangunan di kawasan. Sebelum terbentuknya ASEAN tahun 1967, negara-negara Asia Tenggara telah melakukan berbagai upaya untuk menggalang kerjasama regional baik yang bersifat intra maupun ekstra kawasan seperti Association of Southeast Asia (ASA), Malaya, Philippina, Indonesia (MAPHILINDO), South East Asian Ministers of Education Organization (SEAMEO) South East Asia Treaty Organization (SEATO) dan Asia and Pacific Council (ASPAC).
Meredanya rasa saling curiga diantara negara-negara Asia Tenggara membawa damapak positif yang mendorong pembentukan organisasi kerjasama kawasan. Pertemuan-pertemuan konsultatif yang dilakuakan secara instensif antara Menteri Luar Negri Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand menghasilkan rancangan Joint Declaration, yang antara lain mencakup kesadaran perlunya meningkatkan saling pengertian untuk hidup bertetanggasecara baik serta membina kerjasama yang bermanfaat diantara negara-negara yang sudah terikat oleh pertalian sejarah dan budaya.
Selanjutnya pada tanggal 8 agustus 1967 di Bangkok, lima wakil negara /pemerintahan Asia Tenggara yaitu Wakil Perdana Menteri Luar Negri Malaysia Tun Abdul Razak  dan para Menteri Luar Negri Indonesia Adam Malik, Menteri Luar Negri  Filipina Narcio R. Ramos, Menteri Luar Negri Singapura S Rajaratnam, dan Menteri Luar Negri Thailand Thanat Khoman duduk bersama untuk menandatangani Deklarasi ASEAN atau Dekalarasi Bangkok. Deklarasi tersebut menandai berdirinya suatu organisasi regional yang diberi nama Association of Southeast Asian Nations/ASEAN (Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara). 
Organisasi ini bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial,dan pengembangan kebudayaan negara-negara anggotanya, serta memajukan perdamaian di tingkat regional yang masih pada tahap kooperatif dan belum bersifat integratif.


Proses perluasan keanggotaan ASEAN hingga tercapainya ASEAN-10 adalah sebagai berikut:
1)      Brunai Darussalam secara resmi diterima menjadi anggota ke-6 ASEAN pada tanggal 7 januari 1984, dalam sidang khusus MenteriMenteri Luar Negri ASEAN di Jakarta.
2)      Veitnam diterima menjadi anggota ke-7 ASEAN dalam Pertemuan Para Menteri  Luar Negri (AMM) ke-28 pada tanggal 29-30 juli 1995 di Bandar Seri Begawan.
3)      Laos dan Myanmar diterima sebagai anggota penuh ASEAN melalui suatu upacara resmi pada tanggal 23 juli 1997 dalam rangkaian Pertemuan Para Menteri Luar Negri ASEAN (AMM) ke-30 di Subang Jaya, Malayasia, tanggal 23-28 juli 1997.
4)      Kamboja diterima sebagai anggota penuh ASEAN pada upacara penerimaan resmi di Ha Noi tanggal 1999. Dengan diterimanya Kamboja, maka cita-cita para pendiri ASEAN untuk mewujudkan ASEAN yang mencakup sepuluh Negara Asia Tenggara (visi ASEAN-10telah tercapai.  
Menjelang abad ke-21, ASEAN menyepakati untuk mengembangkan suatu kawasan yang terintegrasi dengan membentuk suatu komunitas negara-negara Asia Tenggara yang terbuka, damai, stabil dan sejahtera, saling peduli, diikat bersama dalam kemitraan yang dinamis di tahun 2020. Harapan tersebut dituangkan dalam visi ASEAN 2020 di Kuala Lumpur tahun 1997. Untuk merealisasikan harapan tersebut, ASEAN mengesahkan Bali Concord II pada KTT ke-9 ASEAN di Bali tahun 2003 yang menyetujui pembentukan komunitas ASEAN (ASEAN Community).  
Komunitas ASEAN tersebut terdiri atas 3 (tiga) pilar yaitu komunitas keamanan ASEAN (ASEAN security community/ASC), komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic community/AEC) dan komunitas sosial-budaya ASEAN (ASEAN socio-cultural community/ASCC). Indonesia menjadi penggagas pembentukan komunitas keamanan ASEAN dan memainkan peran penting dalam perumusan dua pilar lainnya.
Pada saat berlangsungnya KTT ke-10 ASEAN di Vientiane, Laos tahun 2004, konsep komunitas ASEAN mengalami kemajuan dengan disetujuinya tiga rencana aksi (plan of Action/PoA) untuk masing-masing pilar yang merupakan program jangka panjang untuk merealisasikan kondep komunitas ASEAN. KTT ke-10 ASEAN juga mengintegrasikan ketiga rencana aksi komunitas ASEAN ke dalam Vientine Action Programme (VAP) sebagai landasan program jangka pendekmenengah untuk priode 2004-2010.
Pencapaian komunitas ASEAN semakin kuat dengan ditandatanganinya “Cebu Declaration on the Acceleration of the Establishment of an ASEAN Community by2015” oleh para pemimpin ASEAN pada KTT ke -12 ASEAN di Cebu, Filipina 13 januari 2007. Dengan ditandatangani deklarasi ini, para pemimpin ASEAN menyepakati percepatan pembentukan komunitas  ASEAN dari tahun 2020 menjadi tahun 2015. Seiring dengan upaya perwujudan komunitas ASEAN, menyepakati untuk menyusun semacam kostitusi yang akan menjadi landasan dalam penguatan kerjasamanya. Dalam kaitran ini, proses penyusunan piagam ASEAN dimulai sejak tahun 2006 melalui pembentukan Eminent Persons Group dan kemudian dilanjutkan oleh High Level Task Force untuk melakukan negoisasi terhadap draft piagam ASEAN pada tahun 2007.
Pada usia ke-40 tahun para kepala Negara/Pemerintah  pada KTT-13 ASEAN di Singapura tanggal 2007 telah menandatangani Piagam ASEAN (ASEAN Charter) yang merubah ASEAN dari suatu asosiasi longgar menjadi rule-based organization dan mempunyai legal personality. Dalam rangka mencapai komunitas ASEAN 2015, ASEAN juga menyusun blueprint (cetak biru) dari ketiga pilar komunitas politik keamanan, ekonomi, dan sosial budaya, yang merupakan program aksi untuk memperkuat kerjasamanya.

b.      Tujuan Kerja Sama ASEAN
Deklarasi Bangkok yang menandai terbentuknya ASEAN pada tanggal 8 Agustus 1967 antara lain menyatakan keinginan negara-negara pendirinya untuk meletakkan landasan yang kokoh guna memajukan kerja sama regional di Asia Tenggara yang akan memberikan sumbangan bagi perdamaian, kemajuan, dan kesejahteraan rakyat di kawasan ini. Sebenarnya tujuan kerja sama politik tidak tercantum secara eksplisit dalam Deklarasi ASEAN, namun akibat perkembangan situasi regional maupun internasional, maka kerja sama politik menjadi prioritas utama.  Adapun hambatan kerja sama politik disebabkan oleh sisa-sisa permasalahan akibat kolonialisme, terutama yang menyangkut perbatasan antar negara yang tidak jelas. Di samping itu, pandangan politik luar negeri yang berbeda-beda juga menjadi hambatan kerja sama regional tersebut.
Perhimpunan Bangsa-Bangsa di Asia Tenggara (Association of Southeast Asian Nations) atau ASEAN dibentuk pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok oleh lima negara, yaitu Indonesia, Filipina, Malaysia, Muangthai, dan Singapura. Sedangkan negara-negara Asia Tenggara yang lain seperti Brunei Darusalam, Vietnam, Laos, Myanmar, dan Kamboja bergabung kemudian. Dengan demikian seluruh negara di Asia Tenggara akhirnya bergabung dalam ASEAN.
Sebelum ASEAN berdiri, di Asia Tenggara sudah ada organisasi-organisasi regional. Pada awal tahun 1954 telah muncul Organisasi Pakta Asia Tenggara (SEATO), namun negara-negara di Asia Tenggara yang terlibat baru Thailand dan Filipina. Pada tanggal 31 Juli 1961 lahir Asosiasi Asia Tenggara (ASA) yang melibatkan Malaya, Filipina, dan Muangthai, dalam rangka untuk mendorong kerja sama ekonomi dan budaya.
ASA tidak berkembang karena perseteruan di antara negara-negara anggota. Filipina mengaku memiliki Sabah di tahun 1962 yang akhirnya mematikan embrio dari asosiasi ini. Asosiasi lainnya dikenal sebagai Maphilindo (Malaya, Filipina, Indonesia) dibentuk pada awal Agustus tahun 1963, tetapi pecah ketika Indonesia melancarkan konfrontasi dengan Malaysia pada tahun 1964, dan kemudian muncul ASEAN (1967) yang dapat mewadahi tujuan-tujuan ASA dan Maphilindo.
Berdasarkan pengalaman dari berbagai organisasi regional yang telah tumbuh dan berkembang di Asia Tenggara, terlihatlah bahwa organisasi regional yang bisa memadai adalah perhimpunan yang memperhitungkan Indonesia. Sebagai negara yang paling besar dan luas wilayah serta jumlah penduduknya di kawasan ini, Indonesia mau tidak mau harus disertakan dalam suatu pola kerja sama yang mengandalkan kemandirian berpikir maupun kemandirian dalam melaksanakan cita-cita ketertiban regional. Karena itu ASEAN yang bisa menemukan pola yang sesuai dengan kondisi yang realistis di Asia Tenggara cenderung bisa diterima oleh semua negara di kawasan ini.
Fenomena politik internasional dan regional serta masalah-masalah bilateral yang terdapat di antara beberapa negara Asia Tenggara adalah faktor-faktor yang mendorong lahirnya suatu regionalisme Asia Tenggara, yang diwujudkan oleh organisasi kerja sama ASEAN. Faktor-faktor eksternal ini diperkuat pula oleh berbagai keharusan dan kepentingan politik internal dari masing-masing negara anggotanya.
Situasi politik internasional dalam dasawarsa 1960-an masih diwarnai oleh konflik latent, dengan percik-percik konflik langsung di sana-sini (perang Vietnam, perang Arab-Israel dan sebagainya), konflik antara Blok Barat dan Blok Timur. Keadaan seperti itu menumbuhkan ketegangan di beberapa kawasan, dan dalam beberapa hal juga pertarungan intern si suatu negara, akibat adanya pilihan-pilihan politik dalam kebijaksanaan politik luar negeri yang dilakukan oleh suatu rejim dengan mengacu kepada salah satu kutub kekuatan dunia yang ada.
Di tengah-tengah suasana bipolaritas kekuasaan global antara dua negara adikuasa (Amerika Serikat dan Uni Soviet), gema suara dari kerinduan akan suasana yang lebih netral dan upaya peradaan ketegangan terdengar semakin keras. Jalan tengah itu mengambil bentuk gerakan Non-blok muncul dari negara-negara relatif muda dan baru lepas dari penjajahan setelah Perang Dunia II. Sementara itu, fragmentasi kekuatan Barat, dengan tumbuhnya bibit-bibit kekuatan dunia baru seperti Jepang mulai pula kelihatan. Fragmentasi serupa Blok Timur juga mulai kelihatan dengan munculnya RRC yang tampil sebagai kekuatan raksasa baru.
Situasi politik internasional lain yang sosoknya mulai tergambar semakin jelas ialah kecenderungan sejumlah negara di kawasan tertentu untuk membentuk organisasi regional. Meskipun yang terakhir itu masih lebih banyak berupa pakta pertahanan atau kerja sama yang bersifat serupa itu, namun demikian sudah ada pula beberapa organisasi kerja sama regional yang berlandaskan kepentingan selain pertahanan dan mempertegas titik-titik terang keberadaan yang semakin kuat seperti Uni Eropa.
Kecenderungan-kecenderungan tersebut tidak hanya bersifat struktural melainkan juga  fungsional, dalam arti bahwa kepentingan-kepentingan yang terkandung di dalamnya juga ikut mengalami pergeseran sifat. Jika sampai pertengahan dasawarsa 1960-an isu-isu politik seperti kolonialisme, pertarungan ideologis antara demokrasi liberal melawan komunisme dan sebagainya yang mendominasi percaturan politik internasional, maka sejak periode tersebut isu-isu ekonomi mulai terdengar dan menguat.
Seperti yang telah di ungkapkan di atas, faktor pendorong terbentuknya ASEAN ialah perkembangan situasi  regional secara umum. Ketakutan akan eskalasi perang vietnam serta titik rawan dalam soal komunisme yang dihadapi oleh setiap negara pendiri ASEAN memerlukan langkah-langkah dan strategi tertentu untuk menghadapinya. Dengan kata lain, dalam persoalan ini terlihat adanya kecenderungan tuntutan yang semakin meningkat terhadap upaya penagkalan komunisme pada umumnya, dan eskalasi perang vietnam pada khususnya. Dalam situasi seperti itulah, bisa dimengerti mengapa pihak Thailand dengan antusias menyediakan segala prasarana bagi proses terbentuknya ASEAN jika dilihat bahwa negara itu berkepentingan langsung akibat faktor geografis dan hubungannya dengan Amerika Serikat.
Penggalangan kerja sama regional dipandang bisa menjadi salah satu alternatif perwujudan pencarian legitimasi itu, melalui konsep pembangunan nasional. Dengan kerangka yang sama, Malaysia dan Singapura paling tidak berusaha untuk mempertahankan tingkat kemakmuran ekonomi yang telah dicapai dengan menghindari sejauh mungkin implikasi politik yang rawan bagi pemerintahan nasional masing-masing.
Berbagai macam permasalahan bilateral yang dihadapi oleh masing-masing negara pendiri dengan corak hubungan yang khas ikut pula mendorong proses pembentukan ASEAN, salah satu contohnya Indonesia dengan Singapura. Posisi lintas Singapura, meskipun menguntungkan, tetapi dari aspek strategi pertahanan kurang menguntungkan. Dalam kaitan itu, pengalaman Singapura dengan politik konfrontasi Indonesia membuat negara pulau yang dari kelima negara pendiri ASEAN merupakan yang terkecil itu untuk mengarahkan strategi pembangunan perekonomiannya tidak hanya sebagai pelabuhan transito, melainkan harus segera melangsungkan proses industrialisasi. Dengan strategi seperti itu, negara pulau tersebut akan berusaha meningkatkan daya tangkal dan ketahanan nasional terhadap negara-negara tetangga yang wilayahnya lebih luas dan penduduknya lebih besar.
Disamping masalah-masalah bilateral, ternyata persoalan-persoalan domestik juga berperan kuat dalam mendorong terbentuknya ASEAN. Indonesia baru terlepas dari peristiwa G30S, dengan segala implikasi politik dan sosial ekonomi, dan secara umum persoalan-persoalan mengenai peralihan kekuasaan. Pemerintahan yang baru masih berupaya untuk memperkuat dasar-dasar legitimasi, yang akibat peristiwa tersebut norma-norma lama yang melandasi tingkah laku serta kebijakan politik sebelumnya telah meluntur serta kesepakatan tentang norma-norma baru belum tertanam dengan kuat.
Jika dilihat dari pengalaman sejarahnya, dari kelima negara pendiri ASEAN, empat di antaranya hampir mengalami pengalaman kesejarahan yang sama. Kecuali Muangthai, negara-negara anggota lainnya pernah mengalami penjajahn dan baru saja memperoleh kemerdekaan dari mereka. Dengan demikian masih terdapat persoalan-persoalan yang lazim muncul di negara-negara baru, yaitu pergulatan dengan sistem politik yang belum mapan, suksesi antara rezim penguasa yang tidak selalu berjalan lancar dan tanpa kekerasan, masalah persatuan dan kesatuan bangsa pada umumnya, identitas bangsa, pembangunan ekonomi, dan lain-lain. Sistem politik yang belum mapan misalnya dialami oleh Indonesia dengan perubahan bentuk sistem politik dari sistem demokrasi liberal ke demokrasi terpimpin hingga Orde Baru.
Tokoh indonesia yang banyak berperan dalam pembentukan ASEAN adalah Adam Malik. Sebagai Menteri Luar Negeri, Adam Malik banyak bekerja sama dengan Departemen Pertahanan-Keamanan. Tujuan politik luar negerinya adalah meluruskan politik luar negeri dan memulihkan  citra Indonesia dalam kaitannya dengan  usaha-usaha memulihkan perekonomian dan perintisan awal pembangunan nasional. Untuk mencapai tujuan tersebut, Indonesia berperan aktif sebagai perintis pembentukan ASEAN.


c.       Norma dan Prinsip ASEAN
Sepanjang sembilan tahun pertama sejak dibentuk merupakan saat yang penting dan menentukan karena sepanjang waktu itulah interaksi antar negara menjadi sumber nilai bagi pembentukan norma-norma yang kelak menjadi pondasi untuk keberlangsungan hubungan antar negara. Perjanjian persahabatan dan kerjasama (Treaty of Amity anda Cooperation) yang ditandatangani pada pertemuan di Bali tahun 1976 sering disebut sebagai wujud dari nilai-nilai global yang mendasari terbentuknya organisasi regional. Dalam temuan Bali tersebut negara-negara ASEAN sepakat untuk:
1)      Saling menghormati kemerdekaan, kedaulatan, dan integritas wilayah semua bangsa;
2)      Setiap negara berhak memelihara keberadaannya dari campur tangan, subversi, kekerasan, dari kekuatan luar;
3)      Tidak mencampuri urusan dalam negara lain;
4)      Menyelesaikan perbedaan pendapat dan pertikaian dengan jalan damai;
5)      Menolak ancaman penggunaan kekerasan.
Menurut Acharya, ada beberapa norma dasar yang tumbuh dalam proses evolusi ASEAN selaku organisasi regional. Terdapat paling tidak empat norma dan prinsip yang melandasi kehidupan ASEAN, antara lain:
1)      Menentang menggunakan kekerasan dan mengutamakan solusi damai;
2)      Otonomi regional;
3)      Tidak mencampuri urusan internal negara anggota lain;
4)      Menentang pakta militer, mendukung kerjasama pertahanan bilateral (Bambang Cipto, 2010: 22-23).
d.      Situasi Global sebelum Pembentukan ASEAN
Sejak tahun 1945 peta politik internasional berada di bawah pengaruh perang dingin antara Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat dan Blok Timur yang dipimpin Uni Soviet (kini Rusia). Dengan demikian sejak 1945, tiada kawasan dunia yang penting yang lepas dari salah satu atau berbagai bentuk persaingan ideologis Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Dalam rangka untuk mendapatkan dukungan internasional, Amerika Serikat dan Uni Soviet aktif bertindak sebagai pemrakarsa  berbagai bentuk kerja sama regional yang berdimensi politik, ekonomi, dan keamanan. Akan halnya kadar aktivitas masin masing adikuasa dalam berbagai kawasan dunia amat tergantung pada prioritas yang diberikan kepada kawasan itu oleh masing masing adikuasa, taruhan yang menjadi awal mula persaingan kedua negara, dan keinginan dari masing masing negara kawasan yang diajak untuk bersekutu.
Persaingan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet itu mendorong negara negara di dunia untuk mengikat diri dengan salahsatu negara adikuasa itu. Di samping itu, negara negara adikuasa melibatkan diri dalam suatu kawasan tertentu untuk mendominasi dalam bentuk kerja sama regional.
Dalam banyak kasus, tampak jelas bawa kedekatan geografis yang berlebih lebihan pada salah satu adikuasa dapat mengakibatkan negara negara yang berdekatan itu menjadi amat tergantung pada salah satu negara adikuasa. Makin terikat suatu adikuasa pada ikhtiar perlindungan terhadap kawasan yang amat berdekatan dengannya, makin besar kemungkinan ketergatungan dan hegemoni oleh adikuasa yang bersangkutan.
Ketergantungan dan hegemoni yang tercipta mengakibatkan negara yang dibantu atau dilindungi memiliki ruang gerak ang kian berkurang. Bahkan dalam persekutuan resmi, negara kecil yang besrsangkutan secara nyata terlibat dalam persaingan politik, ekonomi, dan keamanan yang semestinya dapat dihindarinya apabila berdekatan geografis salah satu adikuasa tak memaksanya untuk bertindak demikian.
Dalam hal kawasan yang letak geografisnya bertahan dari Amerika Serikat atau Uni Soviet, kemungkinan akan keadaan ketergantungan, hegemoni dan sengketa kepentingan menjadi berkurang. Paling tidak, perasaan bahwa keinginan yang berlebih lebihan dari suatu adikuasa terhadap negara negara di kawasan yang bersangkutan dapat dikurangi karena bagaimanapun, jarak yang membuat kadar tekanan perasaan seperti itu dapat dikecilkan. Maka, sepanjang sejarah modern Asia Tenggara, bentuk bentuk kerja sama regional yang diinginkan oleh Amerika Serikat sesungguhnya tidak pernah mengalami tingkat kecemasan akan adanya ketergantungan, hegemoni, atau sengketa kepentingan yang berlarut larut.
Di Asia, terdapat serangkaian upaya untuk menciptakan dan mengembangkan kerja sama dalam berbagai bentuk dan untuk berbagai tujuan. Upaya yang paling awal, melibatkan sejumlah negara Asia Tenggara ialah Konperensi Asia yang diselenggarakan di New Delhi pada tanggal 23 Maret sampai 2 April 1947.
Dalam konperensi Asia itu, di samping tuan rumah India, 17 negara Asia lain ikut hadir dan enam dari padanya adalah wakil wakil dari Asia Tenggara, masing masing dari Myanmar, Indonesia, Malaya, Filipina, Muangthai dan Vietnam. Pada tanggal 20 Januari 1949 konperensi pemerintah negara negara Asia tersebut membicarakan serangan Belanda terhadap Indonesia yang berlangsung mulai tanggal 19 Desember 1948.
Dalam bulan Mei 1950 di Filipina diselenggarakan pertemuan Asian Union yang dihadiri oleh tuan rumah Filipina, Australia, India, Indonesia, Muangthai, Pakistan, dan Sri Langka. Konperensi konperensi yang diselenggarakan anatara tahun 1947-1950 itu tidak menghasilkan organisasi regional, tetapi lebbih merupakan forum komunikasi. Namun dengan begini berbagai hal yang menjadi perhatian bersama dapat dibahas ssehingga dapat dijadikan sebagai bahan bahan pembentukan kerja sama yang sesungguhnya.
Sejumlah negara negara baru di Asia menilai bahwa kalau mereka terlibat dalam salah satu blok dalam kancah perang dingin, maka akan membahayakan kepentingan nasional mereka. Untuk mendirikan blok ketiga secara militer terang tidak mungkin. Karena mereka yakin bahwa dengan dibentuknya kekuatan ketiga dalam percaturan internasional dapat mengimbangi dua blok yang saling bersaing.
Dalam rangka untuk membentuk kekuatan ketiga (di luar Blok Barat dan Timur), kelima negara Asia yaitu Myanmar, India, Indonesia, Pakistan dan Sri Lanka pada bulan April 1954 bertemu di Colombo (ibu kota Sri Lanka). Dalam konperensi Colombo itu Indonesia mengusulkan ide untuk menyelenggarakan Konperensi negara negara dari Asia dan Afrika.
Dengan disponsori oleh Indonesia, India, Mesir, Ghana, dan Sri Lanka maka pada tanggal 18 24 April 1955 berlangsunglah Konferensi Asia Afrika di Bandung. Meskipun konferensi di Bandung itu tidak sampai menhasilkan sebuah organisasi kerja sama regional, tetapi telah berhasil merubah peta  politik internasional karena KAA sebagai embrio munculnya gerakan Nonblok.
e.       Kondisi Asia Tenggara Sebelum dibentuknya ASEAN
Kekalahan Prancis di Indonesia dalam tahun 1954 ternyata telah merisaukan Amerika Serikat sebagai pelopor Blok Barat, sebab kekalahan pihak Barat itu akan membawa akibat berjatuhnya satu persatu negara negara di kawasan Asia Tenggara ke tangan komunis, bagaikan serangkaian domino. Dari situ muncul dan berkembang teori domino, yaitu bahwa negara negara Asia Tenggara akan jatuh satu persatu ke tangan komunis seperti kartu domino.
Untuk mencegah bahaya komunis tersebut, Amerika Serikat dengan negara negara Blok Barat lainnya mengambil berbagai langkah pembendungan, yaitu dengan memilih salah satu blok. Bagi negara Asia Tenggara yang menyatakan tetap netral dinilai sebagai immorial, termasuk negara negara yang menjadi sponsor KAA yang non blok.
Dalam rangka pembendungan komunis di Asia Tenggara, maka pada tanggal 8 September 1954 dibentuklah SEATO (Southest Asia Treaty Organization) di Manila. Dengan demikian SEATO seabagai organisasi regional yang pertama di Asia Tenggara. Adapun anggotanya adalah Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Australia, Selandia Baru, Pakistan, Filipina, dan Muangthai. Karena hanya dua negara saja yang berasal dari Asia Tenggara, maka SEATO lemah kreadibilitasnya.
Sewaktu Perdana Menteri Malaysia, Tengku Abdul Rahman, berkunjung ke Filipina tahun 1959, ia mengusulkan pembentukan organisasi kerja sama regional yang mampu melindungi dan memperjuangkan kepentingan kepentingan nasionalnya. Setelah Filipina setuju, kedua negara lalu mengajak negara negara di Asia Tenggara, namun hanya Muangthai yang menerima. Karena itu pada tanggal 31 Juli 1961 ketiga negara tersebut melalui sebuah deklarasi di Bangkok secara resmi mendirikan ASA (Association of Southeast Asia).
Banyak negara negara Asia Tenggara yang tidak mau bergabung dengan ASA dianggap sebagai antak SEATO dan imperialis Amerika Serikat. Tetapi munculnya perselisihan politik antara Malaysia dan Filipina tentang Sabah (Kalimantan Utara) yang dimasukkan ke dalam federasi Malaysia dalam bulan September 1963 telah melumpuhkan kegiatan organisasi kerja sama regional tersebut.
Setelah ASA menjadi beku karena masalah Sabah, Filipina mengembangkan ide untuk membentuk semacam Konfederasi Melayu Raya (Greater Malay Confederation). Dibalik ide itu tampaknya terkandung maksud mencari penyelesaian yang memuaskan dari perselisihan antara Malaya di satu pihak dengan Filipina dan Indonesia di pihak lain tentang Kalimantan Utara (Sabah) yang akan masuk ke dalam Federasi Malaysia. Karena itu pada bulan Agustus 1963 terjadilah pertemuan tingkat tinggi di Manila antara Soekarno, Tengku Abdul Rahman dan Diosdado Macapagal, di mana mereka antara lain menyetujui untuk mengambil langkah langkah permulaan ke arah berdirinya sebuah organisasi kerja sama regional baru yang kemudian dikenal dengan Maphilindo (Malaya, Philipina, dan Indonesia).
Sewaktu Malaysia diresmikan pada tanggal 16 September 1963 yang mencakup Sabah, Serawak,Singapura di samping   Malaya ke dalamnya Indonesia mningkatkan konfrontasi terhadap federasi baru itu. Filipina yang yidak lagi mempunyai hubungan diplomatic dengan Malaya atau Malaysia bekerja sama dengan Indonesibelum lagi sempat bergerak, Maphilindo praktis menjadi lumpuh, meskipun kedua negara anggota yaitu Indonesia dan Filipina masih meneruskan pertemuan pertemuan.
Dengan berlangsungnya konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia, maka Indonesia membentuk poros Jakarta Pnom Penh Beijing, dan keluarnya Indonesia dari PBB. Sulit untuk disangkal bahwa hal hal seperti itu merusak citra politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif. Praktek praktek politik luar negeri yang cenderung memiha ke kiri, dalam hal ini RRC, dan sangar anti Barat menimbulkan dan mengembangkan kesangian si berbagai negara tentang kemurnian prinsip bebas aktif politik luar negeri Indonesia.
Ketika politik luar negrei Indonesiaalami krisis kredibilitas yang berat di  luar negeri, dan juga di beberapa kalangan di dalam negeri, terutama kekuatan kekuatan non atau anti komunis seperti di Angkatan Darat dan golongan golongan agama, meletslah peristiwa G30S/PKI. Kalau seandainya peristiwa itu tidak berhasil ditumpas, Indonesia barangkali sudah menjadi negara komunis dan bersamaan dengan itu prinsip bebas aktif politik negeri kita dengan sendirinya terkubur.
Keberhasilan penumpasan G30S/PKI menjungkirbalikkan keinginan untuk membentuk negara komunis di Indonesia. Lagipula penumpasan tersebut diikuti dengan pelanggaran PKI serta Mrxisme atau Komunisme serta jatuhnya kekuasaan presiden Soekarno. Presiden Soeharto dengan Orde barunya mewarisi kondisi politiik, sosial, dan ekonomi dalam negeri yang porak poranda. Di samping itu di dunia internasional, Orde Baru mewarisi krisis kredibilitas yang berat terhadap prinsip bebas aktif dari politik luar negeri Indonesia. Mengembalikan ctra yang wajar dan sehat tentang prinsip bebas aktif tersebut dalam persepsi dunia internasional merupakan salah satu tugas politik luar negeri yang amat ndesak, di samping keperluan untuk mencari antuan yang dibutuhkan buat merekonstruksi dan membangun kembali perekonomian yang kondisinya sudah parah.
Pemerintah Orde Baru berangsur angsur mengembalikan citra politik luar negeri yang bebas aktif. Konfrontasi dengan Malaysia diakhiri dan daam waktu yang relative singkat keanggotaan Indonesia di PBB dicairkan kembali. Serangkaian dengan itu Indonesia memainkan peranan aktif dan menentukan dalam pembentukan organisasi regional di Asia Tenggara.
f.       Menuju ke Arah Pembentukan ASEAN
Berakhirnya konfrontasi Indonesia-Malaysia, ternyata telah membuka lembaran baru sejarah Asia Tenggara. Sebelum berakhirnya konfrontasi secara formal, pemerintah pemerintah di Bangkok, Manila, dan Kualalumpur telah memperlihatkan keinginan mereka untuk menghidupkan kembali gagasan kerja sama kawasan dan hal itu menghasilkan buah dengan pelaksanaan pertemuan menteri menteri luar negrei ASA pada bulan Juli 1966. Regionalism telah menjadi pokok pembicaraan selama berlangsungnya perundingan bilateral informal antara Indonesia dengan Malaysia jauh sebelum prakarsa pertama yang menentukan guna memberhentikan Soekarno. Hal ini juga menjadi agenda pembicaraan resmi antara Adam Malik dan Tuan Razak di Bangkok pada akhir Mei 1966.

C.    Dampak Kerjasama Negara-Negara di Asia Tenggara
Dalam segala tindakan, pasti memiliki suatu dampak atau efek dari tindakan-tindakan yang dikerjakan. Begitu pula dengan suatu kegiatan kerjasama, lebih-lebih dalam suatu bentuk kerjsama yang menyangkut organisasi besar seperti negara. Kerjasama-kerjsama yang telah diuraikan sebelumnya yang ada di kawasan Asia Tenggara, sedikit banyak memberikan perang yang cukup terlihat bagi negara-negara anggotanya. Secara umum diperoleh dampaknya antara lain:
1.      Semakin meningkatnya perdamaian antar negara-negara dalam satu kawasan Asia Tenggara;
2.      Dalam bidang militer, semakin meningkatnya kekuatan pertahanan dalam kawasan Asia Tenggara;
3.      Dalam bidang ekonomi, semakin meningkatnya kerjasama-kerjasama yang saling menguatkan perekonomian negara-negara ASEAN, serta memumculkan peluang-peluang ekonomi yang lebih besar bagi perkembanganya. Sehingga muncullah beberapa wujud kerjasamanya antara lain:
a.       Komite keuangan dan perbankan (COFAB);
b.      Komite bahan pangan, pertanian, dan kehutanan (COFAF);
c.       Komite industri, mineral, dan energi (COIME);
d.      Komite perhubungan dan komunikasi (COTAC);
e.       Komite perdagangan dan pariwisata (COTT).
4.      Dalam bidang sosial budaya, terbentuknya kerjasama-kerjasama dalam bidang sosial budaya. Dan terwujud dalam beberapa kerjasama, antara lain:
a.       Komite pembangunan sosial;
b.      ASEAN conference on civil service matters;
c.       ASEAN senior on drug mattters;
d.      Komite kebudayaan dan penerangan;
e.       Komite ilmu pengetahuan dan teknologi;
f.       Dll (Sekretariat Nasional ASEAN, 1992: 29-126)
5.      Dalam bidang politik, yaitu semakin terbukanya upaya-upaya untuk menjembatani kepentingan-kepentingan masing-masing anggota ASEAN dalam melakukan upaya diplomasi dengan sesama anggota lainya;
6.      Munculnya kerjasama dengan bangsa ketiga atau negara-negara selain anggota ASEAN. Antara lain; Amerika Serikat, Australia, Jepang, Kanada, Korea Utara, Selandia Baru, Masyarkat Eropa (ME), dan UNDP.
7.      Teratasinya permaslahan-permasalahan masing-masing anggota ASEAN dengan bantuan anggota lainya;

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Keefektivan ASEAN bisa tetap terjaga karena kebersamaan yang mengutamakan bahwa setiap masalah dan perbedaan akan diatasi dengan konsultasi konseptual. Penyelesaian masalah melalui legitimasi institusi ASEAN dan peran mediator lewat bermusyawarah mufakat menjadi gaya ASEAN dalam menyelesaikan masalah.Usaha manajemen konflik yang dilakukan ASEAN menutup peluang negara-negara besar diluar ASEAN seperti AS dan China untuk dapat melakukan intervensi mendalam. Penting untuk tetap menjaga netralitas dan membendung pengaruh dari hegemoni-hegemoni luar, karena seperti yang diketahui bahwa ketergantungan ekonomi negara-negara ASEAN pada negara-negara besar dan barat masih tinggi. Adanya kontak yg konstan dan komunikasi diantara negara-negara membantu pertumbuhan kerjasama dan solidaritas yang akan membantu ASEAN dalam menhadapi kerjasama di area yang lebih besar.Dalam praktiknya ASEAN hendaknya sesuai dengan Prinsip-prinsip ASEAN yaitu mutual respect untuk kemerdekaan dan kedaulatan serta intregitas territorial seluruh negara, non interfensi pada pemerintahan dalam negeri satu sama lain.
B.     Saran
Dalam menjalankan suatu kehiduapan, selalu didalamnya terdapat upaya-upaya dalam mempertahankan keberadanya dengan keadaan yang diinginkan dan mengupayakan pencapaian tujuan. Dalam era serba modern saat ini, manusia dituntut untuk hidup dengan segala ketatnya dan kerasnya persaingan kehidupan yang ada. Sesuai dengan konsep bahwa manusia merupakan mahluk sosial yang berarti bahwa manusia hidup selalu bersosial dengan orang lain atau harus dengan bantuan orang lain atau bisa dikatakan tidak bisa hidup sendiri. Dalam asumsi yang lebih besar dari seorang manusia yaitu kelompok manusia seperti negara, juga kan melakukan tindakan demikian dalam melakukan upaya dalam memenangkan keadaan dan selalu bertahan. Uapaya-upaya tersebut dapat termanifestasikan dalam bentuk kerjasama. Kerjasama dibuat, tentunya untuk mencapai suatu tujuan. Sebagai anggota dalam kerjasama, sudah sepantasnya melakukan hal-hal atau prosedur sesuai dengan instruksi yang diberikan. Mengupayakan sikap sinergi antar anggota serta loyalitas yang tinggi akan mampu mewujudkan harapan bersama apabila dilakukan dengan sungguh-sungguh. Oleh karena itu, perlu kiranya kesadaran yang besar untuk melakukan kerjasama yang nantinya akan menuaikan hasil yang positif bukanya kerugian yang di terima.


DAFTAR PUSTAKA

Choiruzzad, Shofwan Al Banna. (2015). ASEAN di Persimpangan Sejarah. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Sekretariat Nasional ASEAN. (1992). ASEAN Selayang Pandang. Jakarta: Departemen Luar Negeri Republik Indonesia.
Suhardjo, Hatmosuprobo. (1983). Sejarah Asia Tenggara. Yogyakarta: IKIP Sanata Dharma.
Saifullah. (2010). Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
http://www.asean org/resources/2012-02-10-08-47-55/asean-statistics/item/ external-trade-statistics-3.